Nadia Murad, Mantan Budak ISIS Peraih Nobel Perdamaian 2018/Foto:Wikipedia.org
Oleh : Fathurrahman Yahya *)
Ketua Komite Nobel Perdamaian Norwegia, Berit Reiss-Andersen telah mengumumkan peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2018, Jumát (5/10/2018) yaitu Denis Mukwege (Republik Conggo) dan Nadia Murad (Irak). Keduanya menyisihkan 329 kandidat Lauret lainnya dari 331 nominator yang terdiri dari 216 calon perorangan dan 115 organisasi.
Dalam prediksi beberapa pengamat Nobel Perdamaian, Denis Mukwege yang pernah dinominasikan sebelumnya dan Nadia Murad memang tidak sepopuler Presiden Donald Trump, Kim Jong Un (Pemimpin Korea Utara) dan Moon Jaee (Presiden Korea Selatan) atas inisiasi perdamaian di Semenanjung Korea. Tetapi peran Mukwege dan Nadia Murad dinilai tepat dalam konteks saat ini.
Sebagai pejuang hak asasi manusia, mereka layak mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian sesuai wasiat Alfred Nobel yang diamanatkan dalam “The Will, karena dinilai telah berperan dalam upaya mengakhiri penggunaan kekerasan seksual sebagai senjata perang dan konflik bersenjata. Mereka berjuang untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan.
Denis Mukwege adalah seorang dokter yang telah mengabdikan hidupnya lebih dari dua dekade untuk membantu memulihkan kaum perempuan dari trauma pemerkosaan dan membela para korban kekerasan seksual di negaranya di benua Afrika. Sementara itu, Nadia Murad adalah seorang saksi sekaligus korban yang menceritakan tentang kekejaman dan pelanggaran yang dilakukan pasukan militan ISIS terhadap dirinya dan perempuan lainnya, khususnya dari etnis minoritas Yazidi di Irak.
Keberanian Nadia Murad untuk mengungkap perlakuan kejam dan kekerasan seksual yang dilakukan milisi ISIS terhadap dirinya dan perempuan Yazidi lainnya patut diapresiasi sebagai suatu keberanian luar biasa. Ia berani mengungkap apa yang dialaminya ke publik internasional demi mencari dan mendapatkan keadilan untuk kaum perempuan.
Dalam perjuangan mencari keadilan itu, tentu ia sadar bahwa jiwanya akan terancam. Tetapi dengan tegas ia meminta agar pelaku kekerasan seksual tersebut – milisi ISIS – segera diseret ke pengadilan internasional. Apa yang ia ungkap barangkali dianggap tabu di tengah-tengah masyarakat Arab yang menganut sistem patriarkat dengan nilai-nilai religiusitasnya. Namun ia siap dengan segala konsekuensi untuk mengadvokasi kaum perempuan terdampak kekerasan seksual di negaranya demi keadilan dan martabat kaum perempuan.
Representasi Perempuan
Penghargaan Nobel Perdamaian kepada Denis Mukwege dan Nadia Murad tentu menambah kekuatan baru dalam perjuangan panjang kaum perempuan untuk memperoleh hak-haknya yang kerap “terlemahkan”, bahkan “tertindas” karena sistem sosial yang tidak seimbang.
Denis Mukwege dan Nadia Murad khususnya akan memperkuat barisan para aktivis HAM dan pejuang demokrasi -peraih Nobel Perdamaian perempuan dari Afrika dan Arab-Islam – sebut misalnya ; Malala Yousafzai – Pakistan (2014), Tawakkul Karman – Yaman (2011),Leymah Gbowee – Liberia (2011),Ellen Johnson Sirleaf – Liberia ( 2011), dan Shirin Ebadi – Iran (2003).
Para pejuang dan aktivis hak-hak perempuan dari kawasan Afrika dan Arab-Islam itu menjadi simbol perlawanan terhadap sistem patriarkat yang sangat dominan di Afrika dan Arab, baik dalam ranah publik maupun domestik (rumah tangga). Mereka telah berjuang di negaranya masing-masing mengajak kaum perempuan berpartisipasi dalam proses pembangunan sederajat dengan kaum pria.
Ellen Johnson Sirleaf (77) menjadi Presiden wanita Liberia dan pertama di Afrika yang terpilih secara demokratis pada Pemilu 2005 setelah terjadinya perang saudara selama 14 tahun. Dari negeri yang sama, Leymah Gbowee dikenal sebagai aktivis yang mengorganisir kalangan wanita lintas etnis dan agama-Kristen-Muslim- untuk menantang para panglima perang lokal demi mengakhiri perang berkepanjangan di Liberia. Aksi yang dilakukan Gbowee juga memastikan partisipasi kaum perempuan dalam Pemilu di Liberia.
Dengan perjuangan panjang para aktivis perempuan tersebut, perubahan-perubahan positif terhadap kaum perempuan di benua Afrika terlihat nyata, tidak saja dalam ranah domestik (rumah tangga), tetapi juga dalam ranah publik, termasuk politik.
Menurut catatan-Inter-Parliamentary Union- dalam periode antara 2008 – 2009 terbukti bahwa beberapa negara di Afrika berada dalam rangking teratas dalam hal representasi perempuan di Parlemen, mengungguli negara-negara Eropa dan Asia. Rwanda (56,3%) Afrika Selatan (44,5 %), Muzambique (39,2%) dan Anggola (38,6 %).
Baik Sirleaf maupun Gbowe keduanya menjadi figur fenomenal bagi perjuangan kaum wanita Afrika untuk memainkan peran signifikan dalam kancah politik, sehingga mereka menjadi trend keterlibatan politik kaum wanita di benua itu. Sementara itu, bagi Dunia Arab, Nadia Murad dan Tawakkul Karman menjadi simbol yang amat bersejarah. Mereka berdua merupakan representasi perempuan pilihan dari Dunia Arab yang meraih Nobel Perdamaian sejak berdirinya tahun 1901. Karman, seorang Jurnalis dan aktivis hak-hak wanita yang berafiliasi kepada Partai Islam telah berjuang untuk kebebasan berepskresi dan pro demokrasi di Yaman. Sedangkan Nadia Murad, aktivis perempuan yang sedang mencari keadilan bagi kaum perempuan atas tindakan kejam dan kekerasan seksual yang dilakukan para militant ISIS.
Penghargaan Nobel Perdamaian kepada perempuan Arab-Islam, utamanya Karman dan Nadia Murad bisa menjadi inspirasi bagi kaum perempuan lainnya di Dunia Arab-Islam untuk lebih berperan dalam ranah publik dan berpartisipasi dalam ranah sosial politik. Tetapi, hal ini menjadi tantangan yang tidak mudah, karena kuatnya sekat-sekat kultural yang membias dalam sistem patriarkat dalam tradisi masyarakat Afrika dan Arab-Islam itu sendiri.
Walhasil, penghargaan Nobel Perdamaian merupakan pengakuan terhadap eksistensi hak-hak perempuan. Maka, untuk mengubah nasib kaum perempuan dari ketertindasan, diperlukan perjuangan dari sekelompok perempuan itu sendiri, baik melalui aksi dan tataran legislasi melalui representasi politik kaum perempuan di Parlemen.
Peminat Kajian Politik dan Hubungan Internasional – Meneliti Nobel Perdamaian di The Nobel Institute Norwegia, 2011-2014.