Penulis : Fathurrahman Yahya
Muslim yes, ekstrem no. Tampaknya jargon inilah yang tepat untuk menggambarkan kandungan isi buku ini.
Semaraknya seruan formalisasi syariat Islam di Indonesia, tidak sedikit orang yang terjebak ke dalam penafsiran teks-teks dasar Islam, Al-Qur’an dan hadis secara tekstual, literal dan kaku. Dengan pemahaman scriptual, kerapkali Islam ditampilkan dalam wajah garang dan menyeramkan. Hukuman qishas, rajam, cambuk, potong tangan, dsb. dijadikan jargon ideologis yang mesti ditegakkan. Padahal dibalik ragam hukuman tersebut terdapat esensi syariat Islam. Implikasinya, kemudiaan muncul sikap ekstrem dengan klaim-kaliam kebenaran dan pembenaran untuk dirinya sendiri dengan dalih menegakkan syariat, padahal tidak semua teks berdimensi syaiat.
Dalam kondisi tertentu, teks-teks dasar agama bukanlah harga mati (fixed price). Teks senantiasa bertaut dengan konteks dan di dalamnya terselip harga tawar sesuai kemampuan dan maslahat manusia, karena agama memang diturunkan dari langit untuk dibumikan dalam kehidupan dan demi kemaslahatan manusia.
Sejauh ini, hubungan antara dua entitas (teks) dan (konteks) masih menjadi diskursus dan pedebatan yang sangat rumit dalam pemikiran Islam. Teks (wahyu) adalah milik Tuhan yang bernilai transendental dan kadang sulit disentuh pemahamanan manusia. Pada satu sisi, kita mesti mempertahankan kesucian teks (wahyu) langit, tetapi pada sisi lain kita juga dituntut untuk menurunkannya ke dalam ranah kehidupan yang profan di muka bumi demi kamaslahatan manusia. Apabila tampak terjadi pertentangan antara teks dan konteks, mana yang harus dikedepankan dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan, pertimbangan teks atau konteks?
Dalam perdebatan teologis ini, Abu Yazid menghadirkan pendapat dua aliran teologi klasik yaitu; Muktazilah dan Asy’ariyah. Aliran Muktazilah cenderung mengedepankan akal (nalar), sedangkan Asy’ariyah lebih mengedepankan teks (wahyu) dalam melihat hukum Tuhan yang berlaku di muka bumi ini. Bagi Muktazilah, akal (nalar) adalah segalanya dalam merespon wahyu Tuhan. Akal manusia mampu menangkap maksud esoterik yang terkandung dalam teks (wahyu) Tuhan. Sungguhpun demikian, kalangan Asy’ariyah tidak menolak adanya kemaslahatan bagi manusia dalam setiap titah dan perintah-Nya.
Guna memperkecil fragmentasi pemikiran dari dua aliran ini, Abu Yazid coba mencarikan jalan keluar, dengan memadukan Nalar dam Wahyu serta mengombinasakan keterkaitan teks dengan konteks.
Pertimbangan Konteks
Jumlah teks (wahyu) yang berkaitan dengan pranata sosial sangat terbatas, dibandingkan dengan persoalan kehidupan ummat manusia saat ini yang semakin kompleks berikut peristiwa-peristiwa hukum yang terus bergerak dinamis. Dengan demikian, hanya mengandalkan teks semata, tidak cukup memadai dalam menyikapi persoalan kemanusiaan sehar-hari. Di sinilah letak urgensinya bahwa wahyu dan nalar perlu dipadu agar nilai-nilai ajaran Islam dapat diimplementasikan dalam realitas kehidupan manusia.
Absolutisme pemahaman agama secara sakral dan literal, terutama yang terkait dengan masalah ibadah hanya berada dalam kisaran 10 %. Sedangkan sisanya masih terbuka lebar untuk dieksplorasi berdasar nalar-ijtihad manusia, sehingga nilai-nilai multidimensional Islam dapat terungkap. Dalam ritual-ritual keagamaan yang sudah baku misalnya jumlah rakaat shalat, kewajiban puasa, zakat, haji dsb. tidak perlu ada pengembangan inovatif, karena hal tersebut berwatak immutable (abadi). Sebaliknya, persoalan-persoalan kemanusiaan yang berwatak dinamis dan senantiasa berubah sesuai perkembangan zaman, memerlukan delegasi akal (nalar) untuk merespon dan mengembangkannya ke arah yang lebih dinamis sejauh tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah umum yang ditetapkan teks.
Dalam konteks ini, teks (wahyu) dan konteks dipertaruhkan, bahkan menjadi perdebatan pemikrian semenjak pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra. Dalam kasus tertentu, Khalifah Umar lebih mengedepankan konteks daripada teks. Hal ini dapat dilihat ketika beliau tidak melaksanakan hukuman potong tangan terhadap seorang yang mencuri karena paceklik, padahal hukuman potong tangan bagi yang mencuri sangat jelas tertera di dalam Al-Qur’an (Q.S. Al-Maedah : [5:] : 38). Selain itu, ia tidak memberi jatah zakat kepada seorang muallaf (orang yang baru masuk Islam), padahal Al-Qur’an (Q.S.Al-Taubah :[9]:60) menegaskan bahwa seorang muallaf termasuk orang yang berhak menerima zakat. Tindakan khalifah Umar ini jelas bertentangan dengan teks, tetapi karena ada (illat dan maslahat), dengan sikap bijaksana, Umar lebih mempertimbangkan konteks dari pada teks.
Memahami Esensi Syariat
Pada ghalibnya, syariat dipahami sebagai akumulasi hukum-hukum yang diapresiasi dari Al-Qur’an dan hadis Nabi dengan dalil-dalil qath’I al-tsubut (dalil pasti). Sebagian yang lain memahami syariat sebagai pelengkap aqidah atau keduanya sebagaimana disinyalir Mahmud Syaltut (mantan Syeikh Al-Azhar) dalam bukunya “al-Islâmu Aqidatun wa Syarîatun”. Tetapi, syariat dan agama adalah dua entitas yang berbeda. Agama adalah ajaran, sedangkan syariat perangkat untuk mengapresiasi ajaran itu. Dengan demikian, Abu Yazid berkesimpulan bahwa syariat tidak identik dengan teks. Artinya, tidak semua teks berdimensi syariat. Hal ini diperkuat dengan pendapat DR.Musthafa Abdur Raziq bahwa agama dan syariat adalan berbeda.
Dalam persoalan-persoalan kemanusiaan, adat istiadat atau yang berupa pengalaman-pengalaman dan exprimentasi Nabi, teks hadis tidak mesti diapresiasi secara kaku dan literal untuk memberikan hukum tertentu. Teks hadis perlu ditelusuri sebab-sebabnya, mengapa Nabi menyabdakan hadis tersebut. Cara-cara Nabi makan dan minum misanya (Nabi makan dengan tiga jarinya dan mengecup jari-jari tersebut) tidak mesti dipahami literal. Semangant syariat yang terkandung dalam cara Nabi tersebut, sebenarnya tercermin rasa syukur bahwa tidak sepantasnya manusia membuang makanan sia-sia. Semangat inilah yang perlu dilestarikan, bukan mempersoalakan teknis makan seperti dengan jari, sendok, garpu dsb.
Menelaah beberapa teks hadis Nabi secara tekstual, misalnya hadis-hadis tentang kepemimpinan dari suku Quraisy, shiwak, kepemimpinan wanita, berbekam (metode pengobatan), cara makan Nabi, dsb. tentu kita menemukan nuansa lain yang berbeda dengan saat disabdakannya teks hadis tersebut. Apakah kita akan mengambil teks-teks hadis secara literal tanpa memahami konteks? Apakah kita akan mempertahankan cara dan exprimentasi pribadi Nabi kemudian menjadikannya sebagai syariat?
Di sini, Abu Yazid menegaskan bahwa tidak semua teks hadis mesti diapresiasi muatan syariatnya secara literal (harfiyah). Selanjutnya, ia menganjurkan perlunya memahami dan menelusuri konteks historis dari suatu teks hadis agar muatan sesuatu yang hendak dimaknai tidak bertentangan dengan spirit syariat yang berwatak dinamis dan membebaskan.
Setidaknya, melalui buku ini, Abu Yazid telah membangun jembatan penghubung dan menyediakan tangga agar manusia yang berdomisili di bumi dapat menggapai apa yang diturunkan dari langit dengan mudah. Dengan membaca buku ini, setidaknya akan terkikis rasa fanatisme dan ekstrem yang berlebihan. Islam adalah agama yang mudah dan membebaskan manusia dari penderitaan fisik dan pisikis. Tuhan tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya (Q.S.al-Baqarah:286, al-An,-am : 152, al-A’raf: 42, al-Mu’minun:62, al-Thalaq: 7).
*) Tulisan ini pernah dimuat di Harian Sindo