Jati Diri Partai Islam

Ilustrasi Partai Islam / Foto/Republika.co.id

(Tanggapan Opini ‘Masih Perlukah Partai Islam?’ M Fajar Pramono

Oleh : Fathurrahman Yahya *)

Tulisan Muh Fajar Pramono bertajuk “Masih Perlukah Partai Islam?” yang dimuat Harian Republika, 29 Maret 2011, tentunya menarik perhatian pemerhati politik untuk mengkaji ulang pemahaman dua terminologi politik “politik Islam” vis a vis “Islam politik”. Dalam tulisan tersebut Fajar Pramono memberikan sampel Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai representasi politik Islam yang belakangan ini ditimpa kisruh internal terkait tuduhan keterlibatan sejumlah elite partai tersebut dalam penyelewengan dana.

Pertanyaannya adalah, apakah Partai-partai Islam termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) benar-benar merepresentasikan politik Islam atau hanya sekadar merepresentasikan Islam politik? Apakah partai-partai Islam benar-benar berpegang teguh pada nilai-nilai Islam dalam menjalankan pilitik negara atau hanya menjadikan Islam sebagai jargon politik untuk memperoleh keuntungan dari negara? Mengapa partai-partai Islam tidak menempati posisi teratas ditengah umat Islam yang mayoritas?

Terlepas dari apa yang terjadi di internal PKS atau partai Islam lainnya sebenarnya tidak perlu membuat apatis umat Islam untuk terus menegakkan nilai-nilai Islam melalui jalur politik. Tanpa memperdebatkan kembali terminologi “Politik Islam” atau “Islam Politik”, pertanyaan provokatif Fajar Pramono bisa dijawab bahwa partai Islam masih diperlukan sebagai keniscayaan untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik demi kebaikan umat Islam di dunia dan akhirat (Fiddunya Hasanah Wa fil Akhirati Hasanah). Nilai-nilai genuine Islam seperti ; berlaku jujur, amanah, adil, mengentaskan kemiskinan, membantu yang lemah, musyawarah, adalah cermin etika politik Islam yang semestinya ditegakkan di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim baik melalui pendekatan kultural maupun struktural. 

Munculnya partai-partai Islam atau yang berbasis massa Islam pascaruntuhnya rezim Orde Baru patut diapresiasi. Hal itu menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia ingin terlibat langsung dalam pembuatan legislasi dan kebijakan pemerintah yang diharapkan bisa berimplikasi positif bagi upaya perbaikan kondisi umat Islam yang jumlahnya mayoritas. Hanya saja perlu disadari bahwa prolehan suara partai-partai Islam belum menunjukkan jumlah yang signifikan.

Dalam tiga pemilu (1999, 2004, dan 2009), prolehan partai-partai Islam berada di bawah partai-partai yang tidak mengatasnamakan diri sebagai partai Islam (baca: partai nasionalis). Pada pemilu terakhir (2009), perolehan suara partai-partai nasionalis berada di urutan atas; Demokrat (20,5 persen), Golkar (14,45 persen), PDIP (14,32 persen), PKS (7,88 persen), PAN (6,01 persen), PPP (5,32 persen), dan PKB (4,94 persen). Bahkan, perolehan sejumlah partai Islam sebut misalnya PBR, PBB, PKNU, pada Pemilu 2009 tidak mencapai 2,5 persen sebagai persyaratan Parliamentary Threshold (PT).

Salah seorang kolumnis Harian Al-Ahram Mesir dan Al-Syarq Al-Awsath, Dr Fahmi Huwaidi, dalam seminar mahasiswa Indonesia di Kairo, 1999 lalu, mencermati kondisi partai-partai Islam di Indonesia pascareformasi yang menurutnya mengalami kegagalan. Dengan nada sedikit kritis, Fahmi Huwaidi berujar bahwa umat Islam Indonesia melek politik setelah Rezim Soehato jatuh. Buktinya, mereka bereuforia mendirikan partai-partai politik berasaskan Islam, tetapi mengalami kekalahan.

Dalam kerangka ini, ia mengajak umat Islam (Indonesia) agar mengadopsi model perjuangan dakwah Rasulullah SAW, bahwa pada periode Makkah, Rasulullah SAW berdakwah secara sembunyi-sembunyi, tetapi dalam periode Madinah–ketika nilai-nilai Islam diterima oleh masyarakat Madinah yang heterogen (mejemuk)–beliau melakukannya secara terang-terangan. Di kala itu, wajah politik Islam yang ramah mulai ditampilkan di tengah-tengah masyarakat Madinah yang majemuk.

Menyeruaknya konflik internal dan isu-isu korupsi yang anehnya terjadi di lingkaran partai Islam atau yang berasaskan Islam atau yang berbasis massa Islam, sesungguhnya menjadi tamparan hebat bagi elite-elite partai Islam dan umat Islam secara keseluruhan. Umat Islam yang sejatinya bisa menikmati perubahan dalam perpolitikan nasional pascarezim otoriter, justru dihidangkan dengan aneka permainan politik yang justru tidak sesuai dengan moralitas dan nilai-nilai politik Islam. Misalnya, masih banyaknya korupsi dan tindakan-tindakan amoral lainnya yang dilakukan oleh sebagian elite partai.

Ekspektasi politik konstituen Muslim sesungguhnya sangat besar agar partai-partai Islam dapat mengubah karakter perpolitikan nasional atau setidaknya bisa menawarkan agenda alternatif dari yang kotor menjadi bersih atau dari yang hitam menjadi putih. Ini sejalan dengan nilai-nilai Islam demi kebaikan bersama masyarakat Indonesia yang mejemuk tanpa harus menonjolkan simbol-simbol Islam secara kaku dan rigid.

Jika partai-partai Islam tidak mampu menawarkan sesuatu yang lebih baik untuk kesejahteraa dan kemakmuran masyarakat Indonesia, tidak menutup kemungkinan para konstituen (Muslim) akan semakin apatis terhadap partai-partai Islam, bahkan mereka akan meneriakkan paradigma lama dengan adagium-adagium politis yang alergi terhadap partai Islam misalnya; “Islam yes, partai Islam no”.

Di tengah pragmatisme politik yang semakin menguat, masyarakat sudah mulai sadar politik, sehingga mereka tidak mau lagi terjebak dengan gengsi kemasan partai politik (Islam) yang substansinya justru tidak mencerminkan nilai-nilai luhur Islam. Tampaknya, masyarakat Indonesia lebih tertarik pada isi bingkisan yang manis daripada bungkusnya yang menarik.

Sudah saatnya para elite partai-partai Islam untuk menyusun strategi yang lebih jitu menuju kemenangan yang menggembirakan, bukan berlomba-lomba melakukan perang opini mengklaim target persentase prolehan suara. Klaim-klaim perolehan suara yang hanya berdasar prediksi kedekatan emosional konstituen tidak lain ibarat pepesan kosong. Perang opini seperti ini justru semakin membuat percaya diri kader-kader partai Islam bahwa bagaimanapun partainya akan dipilih oleh umat Islam yang jumlahnya mayoritas atau didukung oleh pengikut organisasi sosial keagamaan tertentu yang jumlahnya jutaan, padahal kenyataannya belum tentu demikian.

Menghadapi Pemilu 2014, kenyataan dan pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi pekerjaan rumah (PR) elite-elite partai Islam sebagai peneguhan jati diri partai Islam itu sendiri agar tidak ditinggalkan oleh konstituen Muslim yang jumlahnya mayoritas. Partai-partai Islam perlu melakukan islah dengan dirinya–melakukan pembenahan internal–mereformasi platform partai agar lebih inklusif, modern.

Juga, merekrut kader-kader partai yang tidak hanya memiliki kapabilitas intelektual tetapi juga yang bermoral, memilih figur yang tidak hanya pandai menghibur, tetapi pandai berbaur dengan semua kalangan, dan mencetak kader-kader yang tidak hanya pandai urusan akhirat, tetapi juga pandai urusan dunia. Semoga.

*) Alumni Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep Madura/ Pemerhati Politik Islam, Tinggal di Oslo, Norwegia.

Sumber : Harian Republika, Kamis, 28 April 2011

Next Post

Kandidat Oposisi, Ekrem Imamoglu Menang Pemilihan Walikota Istanbul

Mon Jun 24 , 2019
Share on Facebook […]