Ketua Komite Nobel Perdamaian Norwegia, Thorbjorn Jagland Saat Mengumumkan Peraih Nobel Perdamaian/Foto : Fath
Oleh : Fathurrahman Yahya/Pemerhati Politik Islam, tinggal di Oslo-Norwegia.
Penghargaan Nobel Perdamaian 2011 kepada tiga aktivis wanita ; Ellen Johnson Sirleaf, Leymah Gbowee (Liberia) dan Tawakkul Karman (Yaman), membuat terperangah beberapa wartawan yang meliput pengumuman dan jumpa pers Ketua Komite Nobel Perdamaian, Thorbjorn Jagland 7 September lalu. Pertanyaan kemudian muncul mengkritisi penghargaan prestisius tersebut. Apakah terpilihnya Ellen Johnson Sirleaf akan berdampak terhadap politik lokal, utamanya menjelang Pemilu di Liberia 11 Oktober? Mengapa Komite Nobel Perdamaian memilih tiga wanita sekaligus, adakah agenda gender dibalik itu semua? Pertanyaan tersebut cukup beralasan karena dua hal :
Pertama, terpilihnya Ellen Johnson Sileaf (Presiden Liberia) sebagai peraih Nobel Perdamaian secara tidak langsung akan berimplikasi politis yang sangat menguntungkan Elleh Johnson Sirleaf. Pada bulan ini (Oktober) Sirleaf mencalonkan kembali dalam Pemilihan Presiden di Liberia untuk periode kedua, sehingga penghargaan Nobel Perdamaian akan mendongkrak popularitasnya di mata rakyat Liberia dan tentunya dapat merugikan kandidat lainnya.
Kedua, tiga wanita tersebut tidak termasuk dalam daftar nominator spekulatif yang dirilis Kristian Berg Harpviken, Direktur Lembaga Riset Perdamaian (Peace Research Institute Oslo) 2 Oktober lalu. Dengan mengejutkan, mereka mengungguli nominator lainnya yang pada tahun 2011 berjumlah 241 (188 individu dan 53 organisasi). Bahkan mereka menggusur figur-figur lainnya sebagai kandidat kuat misalnya trio aktivis Revolusi “Arab Spring”; Israa Abdel Fattah, Wael Ghanim (Mesir) dan Lina Ben Mhenni (Tunisia), aktivis perempuan asal Afganistan, Sima Samar, Aktivis hak asasi manusia Rusia, Svetlana Gannushkina, pendiri situs Wikileaks, Julian Assange dan Stasiun Televisi Aljazeera.
***
Dalam jumpas pers, Torbjorn Jagland coba meyakinkan para pekerja media bahwa terpilihnya tiga wanita asal Afrika dan Arab itu sebagai penghargaan atas “perjuangan mereka demi perlindungan terhadap hak-hak perempuan untuk partisipasi penuh dalam membangun perdamaian. Menurut Jagland, Komite Nobel tidak punya agenda gender dibalik pemilihan tiga wanita sekaligus. Jagland juga menegaskan bahwa secara gradual Komite Nobel mengumumkan tokoh-tokoh yang berhak memperoleh penghargaan prestisius itu setiap bulan Oktober, sehingga tidak ada kaitannya dengan agenda Pemilu di Liberia yang juga berlangsung pada bulan yang sama”.
Penghargaan Nobel Perdamaian dari waktu ke waktu memang tidak luput dari kritik dan kontroversi, karena figur terpilih biasanya merupakan sosok kontroversial dan aktor politik yang kerap memperjuangkan perdamaian, hak asasi manusia dan demokrasi baik dalam konteks politik lokal, regional maupun internasoinal.
Apapun skeptisisme terhadap motif terpilihnya tiga aktivis wanita tersebut, penghargaan Nobel Perdamaian kepada mereka merupakan pengakuan terhadap partisipasi kaum wanita dalam kancah politik dan perdamaian? Tidak, mereka telah berjuang mengangkat hak-hak wanita yang selama ini kerap diekploitasi kaum pria.
Pejuang hak-hak wanita dari dua kawasan Afrika dan Arab itu menjadi simbol perlawanan terhadap sistem patriarkat yang sangat dominan di Afrika dan Arab, baik dalam ranah publik maupun domestik (rumah tangga). Mereka telah berjuang di negaranya masing-masing untuk mengangkat harkat kaum wanita berpatisipasi dalam pembangunan sederajat dengan kaum pria.
Ellen Johnson Sirleaf (71) adalah Presiden wanita Liberia dan pertama di Afrika yang terpilih secara demokratis pada Pemilu 2005 setelah terjadinya perang saudara selama 14 tahun. Pasca terpilihnya sebagai Presiden Liberia, Ellen Johnson Sirleaf berujar “saya akan membawa senisivitas dan emosi keibuan dalam kepresidenan sebagai cara untuk menyembuhkan luka-luka perang”.
Dari negeri yang sama, Leymah Gbowee (39) dikenal sebagai aktivis yang mengorganisir kalangan wanita lintas etnis dan agama-Kristen-Muslim- untuk menantang para panglima perang lokal demi mengakhiri perang berkepanjangan di Liberia. Aksi yang dilakukan Gbowee ini juga memastikan partisipasi politik kaum wanita dalam Pemilu di Afrika.
Menurut catatan-Inter-Parliamentary Union- dalam periode antara 2008 – 2009 terbukti bahwa beberapa negara di Afrika berada dalam rangking teratas dalam hal representasi wanita di Parlemen, mengungguli negara-negara Eropa dan Asia. Rwanda ( 56,3%) Afrika Selatan (44,5 %), Muzambique (39,2%) dan Anggola (38,6 %).
Baik Sirleaf maupun Gbowee keduanya menjadi figur fenomenal bagi perjuangan kaum wanita Afrika untuk memainkan peran signifikan dalam kancah politik, sehingga mereka menjadi trend keterlibatan politik kaum wanita di benua itu. Lalu bagaimana dengan peran Tawakkul Karman?
Bagi Dunia Arab, Tawakkul Karman (32) menjadi simbol yang amat bersejarah. Ia merupakan satu-satunya wanita dari Dunia Arab yang meraih Nobel Perdamaian sejak berdirinya tahun 1901. Karman, seorang Jurnalis dan aktivis hak-hak wanita yang kini berafiliasi kepada Partai Islam telah berjuang untuk kebebasan berepskresi dan pro demokrasi di Yaman.
Dengan keberaninannya mengkritik penguasa dan memimpin langsung demontarasi massa-pemuda di San’aa menentang rezim otoriter Presiden Ali Abdullah Saleh, Karman disebut sebagai “Ibu Revolusi “ Yaman. Sikap berani dan peran Karman sebagai seorang wanita yang memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi, kini diakui dunia internasional melalui penghargaan Nobel Perdamaian.
Penghargaan kepada Karman bisa menjadi inspirasi bagi kaum wanita di Dunia Arab-Islam untuk lebih berperan dalam ranah publik dan berpartisipasi dalam ranah sosial politik. Tetapi, hal ini menjadi tantangan yang tidak mudah, karena kuatnya sistem patriarkat dalam tradisi masyarakat Afrika dan Arab, utamanya di Yaman itu sendiri.
Terpilihnya tiga wanita sebagai peraih Nobel Perdamaian 2011, akan mengubah konstruksi pemahaman tentang potret dan status wanita dalam masyarakat. Setidaknya akan mengurangi stigma yang kerapkali diarahkan kepada wanita sebagai makhluk yang lemah fisik dan akal. Lebih dari itu, sekat-sekat kultural yang membias dalam sistem patriarkat juga akan terkikis, sehingga banyak ruang yang bisa diisi kaum wanita dalam kehidupan publik, bukan hanya laki-laki. Prestasi ketiganya dalam memperjuangkan hak-hak wanita, demokrasi dan perdamaian akan diganjar hadiah senilai 10 juta Kroner Swedia atau setara Rp 13,3 miliar. (Wallahu A’lam) .
Sumber : Republika, Jumat, 14 Oktober 2011