Anggota Parlemen Ennahda Party Tunisie : Foto / Wikipedia.Org
Oleh : Fathurrahman Yahya,
Pasca runtuhnya rezim Zine El-Abidin Ben Ali 14 Januari 2011, euforia politik membangkitkan antusiasme masyarakat Tunisia untuk berkiprah dalam kancah politik. partai-partai baru bermunculan bagai jamur di musim hujan hingga mencapai 114 partai. Mengejutkan, karena satu-satunya partai berhaluan Islam yaitu “An-Nahdah” memenangi pemilihan Parlemen Tunisia 23 Oktober 2011 lalu dengan perolehan 40 % suara atau 90 kursi dari 217 .
Kemenangan tersebut tentu fenomenal di negeri Arab-Islam yang sekuler ini. Mengapa partai Islam yang secara legal formal baru terbentuk 1 Maret 2011, mampu mengalahkan partai-partai sekuler? Banyak faktor yang bisa menjawab pertanyaan tersebut yaitu ; faktor kultural, politis, dan ideologis.
Rindu Identitas
Sebagai bangsa Arab-Islam, masyarakat Tunisia sebenarnya sudah lama merindukan identitas “Arab-Islam” yang tergerus sekularisme sejak rezim Presiden Habib Bourguiba (1956-1987) dan rezim Zine El-Abidin ben Ali (1987-2011).
Rezim Bourguiba (1956-1987) mengambil jarak yang amat jauh dengan Islam dan Arabisme. Simbol-simbol Islam dan Arab pada zamannya dijauhkan dari kehidupan masyarakat Tunisia. Banyak kenangan pahit yang mereka rasakan selama rezim Bourguiba misalnya; aktivitas keagamaan di Masjid diawasi, adzan dilarang di Televisi. Bahkan demi produktivitas, Presiden Bourguiba membolehkan umat Islam “tidak berpuasa” di bulan Ramadan. Tidak heran, jika hingga tahun 1990-an kultur Perancis, termasuk bahasanya di Tunisia lebih dominan daripada kultur Arab-Islam. Pengalaman Tunisia hampir sama dengan Turki di bawah Kamal Attaturk.
Langkah politik Bourguiba yang lebih berkilbat ke Perancis dari pada Arab-Islam memang telah malahirkan negara Tunisia yang modern, tetapi membuat negara-negara Arab (petro dollar) juga menjaga jarak dengan rezim Bourguiba, sehingga bantuan pembangunan dan aliran investasi dari negara-negara tersebut ke Tunisia tersendat. Rezim ben Ali juga demikian, hanya saja, lebih akomodatif dengan kalangan Islam, sehingga aktivitas keagamaan mulai semarak dan pembangunan di Tunisia tampak lebih berkembang pada era ini.
Setelah lebih dari 5 dekade dalam genggaman sistem sekuler, masyarakat Tunisia merindukan identitas “Arab-Islam” kembali sebagai nasionalisme mereka. Harapan untuk mengobati kerinduan tersebut hanya ada pada An-Nahdah sebagai satu-satunya partai berhaluan Islam dari 114 partai yang ada.
Momentum Politik
Partai An-Nahdah berawal dari sebuah pergerakan Islam (Islamic Movement) yang didirikan oleh para akademisi dan pengacara pada tahun 1972 di antaranya Abdel Fattah Moro dan Rachid Gannouchi. Sebagai sebuah pergerakan, An-Nahdah memiliki jaringan pengikut yang sangat luas, utamanya dari kalangan pemuda dan mahasiswa di universitas-univesitas di Tunisia serta masyarakat pedesaan.
Dalam dua masa pemerintahan ; Habib Bourguiba dan Zine El-Abidin ben Ali, An-Nahdah bagai pergerakan “haram” yang terzalimi secara politis. An-Nahdah dilarang beraktivitas sebagai partai politik, karena dibawah naungan sistem sekuler, konstitusi Tunisia tidak mengizinkan adanya partai politik yang berbaju agama. Konsekuensi politisnya, sebagai oposan pemerintah, tokoh-tokoh An-Nahdah banyak yang di penjara, bahkan salah satu pemimpin kharismatik An-nahhdah, Rachid Ghannouchi (69) berada di pengasingan (London) selama 22 tahun.
Beberapa minggu setelah terjadinya revolusi, Rachid Ghannouchi dan tokoh-tokoh An-Nahdah lainnya kembali ke Tunisia bergerak cepat memanfaatkan momentum politik. Sejak 1 Maret 2011, An-Nahdah bermetamorfosis dan diakui secara resmi menjadi partai Politik dengan nama “Hizb Harakat An-Nahdah” (Partai Gerakan Kebangkitan). Sejak itu, tren dan popularitas An-Nahdah terus meningkat mengungguli partai-partai sekuler yang sudah lama terbentuk misalnya Democratic Progressif Party, dan The Movement Ettajdid.
Partisipasi An-Nahdah dalam kancah politik di Tunisia sebagai partai legal memang tergolong baru, sehingga sebagian pihak merasa terkejut atas kemenangannya. Tetapi, keberadaannya sebagai suatu Pergerakan Islam dengan jejaring sosial dan programnya yang mengakar ke bawah, An-Nahdah tidak asing bagi masyarakat Tunisia. Walaupun tokoh-tokoh An-Nahdah banyak tinggal di pengasingan, ikatan emosional para pendukungnya dengan mereka tetap terjalin, bahkan melalui jaringan “bawah tanah”, mesin politik An-Nahdah tetap hidup. Dakwah (diam-diam) yang dilakukan oleh kelompok “ikhwanji”- sebutan bagi simpatisan An-Nahdah-membuahkan hasil dan mempunyai momentumnya pasca revolusi.
Selain narasi-narasi politiknya yang sederhana menyentuh keinginan masyarakat, An-Nahdah memiliki kader-kader militan yang santun ketika kampanye, sehingga disinyalir mampu memikat para simpatisan baru menjelang dan saat pemilihan. Menariknya lagi, banyaknya jumlah partai baru dengan aneka ragam kepentingannya justru membuat acuh masyarakat dan mereka hanya mengingat partai yang memiliki platform jelas, salah satunya adalah An-Nahdah.
Moderat
Terlepas dari pro dan kontra, gerakan yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai politik ini menganut ideologi Islam moderat dan menyuarakan terciptanya demokrasi Islam, pluralisme politik dan dialog dengan Barat.
Sebelum dan sesudah Pemilu, Rachid Ghannouchi menegaskan bahwa secara ideologis, partai An-Nahdah memang terinspirasi dari ideologi Ikhwanul Muslimin di Mesir, utamanya pemikiran Sayyid Qutub dan Hasan Al-banna, tetapi, pola dan formulanya sudah dikembangkan. Tampaknya, pendekatan (Partai Keadilan dan Pembangunan) yang berhaluan religius pimpinan Recep Tayyep Erdogan di Turki akan menginspirasi An-Nahdah di Tunisia.
Dalam sebuah jumpa Pers (28/10), Ghannouchi coba meyakinkan masyarakat Tunisia dan masyarakat internasional bahwa “Kunci untuk reformasi adalah kebebasan, menjaga martabat dan kemandirian masyarakat sipil dari negara,” Ia menambahkan bahwa An-Nahdah memiliki komitmen terhadap dimensi budaya Tunisia dan hak-hak wanita”. Terbukti, 42 dari 49 wanita terpilih di Parlemen berasal dari partai An-Nahdah.
Sikap moderat An-Nahdah tentu melegakan masyarakat intenasional, utamanya Uni Eropa sehingga menyambut baik kemenangan partai Islam ini. Tugas berat An-Nahdah ke depan adalah bagaimana memberi pendidikan, pekerjaan, kesejahteraan bagi masyarakat Tunisia dan menciptakan demokrasi lebih dari sekadar mengagungkan slogan-slogan ideologis.
Jika An-Nahdah berhasil mewujudkan kesejahteraan dan demokratisasi di Tunisia, maka akan menghapus image Barat selama ini bahwa negara Arab-Islam tidak cocok untuk demokrasi dan mesti dipimpin oleh seorang diktator.
*) Alumnus Pascasarjana Peradaban Islam Universite Ezzitouna, Tunisia/Bergiat di The Norwegian Institute of International Affairs, Oslo.