Oleh : Fathurrahman Yahya *)
Setelah KPUD DKI Jakarta melakukan rapat Pleno Hasil Rekapitulasi Suara Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta akan berlangsung dua putaran karena tidak ada pasangan calon yang memperoleh 50 % + 1 suara. Berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara KPUD Jakarta, masing-masing pasangan calon yaitu : Agus-Sylvi (17, 05 %), Ahok-Djarot (42,99 %), dan Anies – Sandi (39,95 %), – (republika.co.id/ 26 /02/ 2017). Dengan demikian, Ahok-Djarot dan Anies-Sandi secara resmi akan melanjutkan pertarungan pilkada DKI Jakarta pada putaran kedua, 19 April 2017.
Pertarungan Sengit
Melihat perbedaan persentase perolehan suara antara Ahok-Djarot dan Anies-Sandi sangat tipis, Pilkada DKI putaran kedua diprediksi akan lebih sengit karena tiga hal. Pertama, pasangan calon dan partai pengusungnya akan all out untuk merebut (17,05 %) yang berafiliasi kepada pasangan Agus-Sylvi yang note benenya didukung partai Demokrat dan tiga Partai Islam atau berbasis massa Islam yaitu PKB, PAN, dan PPP. Kedua, politik identitas dengan isu-isu primordialisme dan sentimen religiusitas akan semakin kentara mewarnai kampanye pasangan calon. Ketiga, partai-partai Islam atau berbasis massa Islam pengusung pasangan calon Agus-Sylvi akan mengalami dilemma, karena posisinya akan ditarik oleh dua kekuatan antara koalisi partai Gerinda-PKS dan koalisi PDI-P, Golkar, Nadsem dan Hanura pendukung Ahok-Djarot.
Kedua pasangan calon memiliki peluang yang sama untuk memenangkan Pilkada DKI 2017. Pasangan calon Ahok-Djarot hanya membutuhkan sekitar 7,1 % + 1 suara dan hal itu tidak terlalu sulit. Pasangan Ahok-Djarot bisa saja mendapatkan pecahan pemilih dari pendukung partai Demokrat, karena basis pendukung partai tengah-nasionalis religius ini adalah heterogen. Sementara itu, posisi Anies-Sandi membutuhkan paling tidak 10,5% + 1 suara, dan itu juga tidak sulit, bahkan bisa lebih mudah meraihnya dibandingkan pasangan Ahok-Djarot karena konstituen partai-partai Islam-berbasis massa Islam dapat ditarik untuk mendukungnya atas dasar faktor identitas dan sentimen religiusitas.
Tanpa mempermasalahkan polarisasi pendukung Ahok-Djarot dan Anies-Sandi dalam tipologi identitas muslim-non muslim, faktor sentimen religiusitas dan etnisitas tidak bisa diremehkan akan dapat memengaruhi perolehan suara kedua pasangan calon. Hanya saja, perlu disadari bahwa pemilih di DKI Jakarta sangat rasional, sehingga kalkulasi politik atas dasar “percaya diri” yang kerap digunakan elit partai-partai berbasis massa Islam bahwa mereka akan didukung pengikut organisasi sosial keagamaan tertentu, tidak dapat dijadikan pijakan kalkulasi politik. Lalu, bagaimana sikap partai-partai Islam-berbasis massa Islam dalam pilkada DKI putaran kedua?
Dilematis
Dalam suatu perbincangan warung kopi di daerah Jakarta Timur, menjelang Piilkada DKI putaran pertama 15 Februari lalu, seorang lelaki yang kelihatannya melek politik, berseloroh dengan asumsi-asumsi politik yang ternyata benar. Menurutnya, partai-partai Islam memiliki posisi tawar yang tinggi, terlalu gengsi, bahkan terlalu percaya diri bahwa umat Islam akan mendukungnya. Tetapi, minim strategi, sehingga calon yang diusungnya dalam kontestasi pemilu kerapkali kalah.
Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta misalnya, paslon Agus-Sylvi yang diusung tiga partai politik berbasis massa Islam misalnya PKB, PPP dan PAN plus Demokrat tersingkir pada putaran pertama. Walaupun partai-partai Islam-berbasis massa Islam memiliki kekuatan magnetik cukup kuat untuk menarik suara simptisan massa khususnya yang terafiliasi dalam organisasi sosial keagamaan semisal NU dan Muhammadiyah, magnet itu justru tidak bisa menempatkan posisi partai-partai tersebu sebagai pelopor. Hal itu dapat terbaca, dimana tiga partai berbasis massa Islam (PKB, PAN dan PPP) tidak terlihat posisi dan peran strategisnya dalam koalisi pengusung pasangan calon Agus-Sylvi.
Kekalaha tersebut, selain karena faktor figuritas Agus yang dianggap “minim pengalaman” di dunia politik dan pemerintahan, ditambah isu-isu politis (dugaan korupsi) yang membelit Sylviana Murni menjelang pelaksanaan Pilkada 15 Februari 2017, “mesin turbo” koalisi partai Demokrat plus tiga partai Islam tampak kurang maksimal. Bahkan, dalam kegiatan kampanye pemenangan, tokoh dan elit-elit PKB, PPP dan PAN jarang terlihat atau terlibat langsung dalam proses itu sebagai suatu kesatuan koalisi yang utuh.
Kegiatan-kegiatan politik yang dilakukan koalisi Demokrat-partai Islam dalam kerangka menjaring simpati massa terkesan elitis dengan menyelenggarakannya di hotel atau di tempat-tempat mewah, sehingga kurang menyentuh simpati masyarakat kelas menengah-bawah. Berbeda dengan koalisi partai Gerindera-PKS dan tim relawan yang terlihat bersatu bergerak all out untuk memenangkan pasangan calon Anies-Sandi yang diusungnya tanpa memperlihatkan panggung kemewahan.
Sikap terlalu percaya diri dan gengsi partai Islam masih terbawa hingga menjelang pemungutan suara putara kedua. Dengan berbagai pertimbangan politis, partai-partai Islam misalnya PKB, PPP dan PAN selalu menunggu hingga detik-detik terakhir untuk menentukan arah dukungan politik, sehingga kehilangan momentum untuk melakukan konsolidasi menata strategi. Walaupun secara kultural kalangan simpatisan akar rumput, cenderung akan mengalihkan pilihannya kepada pasangan Anies-Sandi, sikap politik beberapa partai Islam hingga saat ini masih terkesan ambigu dengan petimbangan-pertimbangan politik yang sebenarnya fragile.
Memang, secara kultural, konstituen parta-partai berbasis massa Islam (PKB-PPP-PAN), utamanya dari kalangan Nahdiyyin dan Muhammadiyah sudah terpolarisasi dan terkooptasi ke dalam tiga koalisi pasangan calon pada putaran pertama, walaupun secara institusional, ketiga partai tersebut mendukung Agus Sylvi. Kondisi inilah yang membuat dilemma partai-partai Islam untuk menentukan arah koalisi pada putaran kedua, mengapa? Satu sisi, tiga partai Islam tersebut ingin mempertahankan posisinya sebagai mitra koalisi partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK (PDI-P, Golkar, Nasdem dan Hanura) pendukung pasangan petahana Ahok-Djarot. Tetapi, di sisi lain mesti menjaga hubungan kultural dengan konstituennya di kalangan akar rumput yang cenderung kepada pasangan Anies-Sandi.
Sejatinya, dukungan partai-partai Islam (PKB,PPP dan PAN) pada putaran kedua, akan menambah kekuatan politik sekaligus kenyamanan psikologis bagi kedua pasangan calon Ahok-Djarot dan Anies-sandi. Tetapi, jika pada akhirnya partai-partai Islam dan Demokrat memutuskan untuk netral, maka pertarungan akan semakin sengit. Masing-masing pasangan calon dan tim relawan perlu bekerja ekstra untuk memenanggkan pertarungan pada putara kedua.
Tentunya, dengan pendekatan langsung (direct approach) kepada masyarakat melalui bahasa yang santun dan rasional dengan materi kampanye yang bersinggungan dengan kebutuhan masyarakat, bukan bahasa dan materi kamapanye yang membuat mereka tersinggung. Lebih dari itu tugas berat adalah merebut hati sekitar 1.6 juta pemilih golput (tidak menggunakan hak suaranya) dan pemilih tambahan yang tidak terakomoodir pada puaran pertama. Wallahu A´lam.
*) Pemerhati Politik Islam dan Hubungan Internasional, Alumni Pascasarjana-Pemikiran Politik Islam-Universite Ezzitouna, Tunisia