Oleh : Fathurrahman Yahya *)
“Revolusi” dan “demokrasi” seolah menjadi kata bersambut. Suatu revolusi diharapkan dapat mewujudkan demokrasi.
Mencermati revolusi yang terjadi di Timur Tengah tampak dilematis. Satu sisi, revolusi diharapkan bisa membawa angin segar bagi masyarakat Arab menuju demokrasi, tetapi pada sisi lain bisa meniupkan angin topan yang dapat mengancam persatuan rakyat di negeri para Nabi ibu.
Perang sipil berkecamuk di Libya, perseteruan antar suku mulai muncul di Yaman, konflik politik di Suriah serta konflik sektarian Sunni-Syi’ah di Bahrain juga belum usai. Bahkan, pasca revolusi, situasi politik di Tunisia dan Mesir belum stabil. Apakah revolusi akan menjadi momentum menuju demokrasi atau justru dijadikan momentum menuju disintegrasi?
Internal dan Eksternal
Pertanyaan-pertanyaan di atas mengemuka di kalangan sejumlah cendekiawan di Dunia Arab saat ini. Tulisan ini coba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengidentifikasi dua variable, internal dan eksternal- politis dan strategis.
Dalam sebuah Konferensi bertajuk “Democracy at last? Egypt and Tunisia on The Road to Democracy “ yang diselenggarakan Department of Culture Studies and Oriental Languages University of Oslo, 12 Mei 2011, seorang analis politik Islam asal Perancis, François Burgat dari (Institute Français du Proche-Orient, Damascus) menilai bahwa gelombang revolusi di Timur-Tengah sesungguhnya memberi sinyal positif , “Tetapi perlu disadari bahwa revolusi itu terjadi karena adanya kesalahan sistemik dalam landscape politik Islam di Timur-Tengah”.
Di antara kesalahan tersebut menurut François Burgat bahwa institusi-institusi (negara) sangat terikat dengan penguasa represif, masyarakat madani (civil society) hanya bergumul dengan isu-isu hijab dan burka. Bahkan yang paling krusial, seorang figur muslim kharismatik (baca : Syeikh) banyak berbicara atas nama penguasa, dan mendukung rezim penguasa sekalipun otoriter.
Para wakil rakyat, termasuk kaum intelektual Islam terkooptasi ke dalam kekuasaan otoriter dengan jarak representasi yang sangat jauh dari kepentingan rakyat kebanyakan. Masalah korupsi, kemiskinan dan penganguran tidak dijamah oleh para wakil-wakil rakyat, sehingga yang terjadi kemudian, checks and balances dalam konteks amar makruf nahi munkar menjadi terabaikan.
Selain faktor politis, tanpa dipungkiri revolusi kerap dikaitkan dengangojang-gonjing adanya intervensi pihak luar yang memiliki kepentingan geo-politik-strategis di kawasan Timur-Tengah sebagai bagian dari political design “divide et impera”.
Tidak sedikit pengamat yang menilai bahwa revolusi yang bergolak di Dunia Arab sebenarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari rencana “New Middle East” (Timur-Tengah Baru) yang pernah digagas Menteri Luar Negeri AS waktu itu, Condoleezza Rice untuk menggantikan istilah “Great Middle East” yang terkesan terlalu ambisius.
Mewujudkan ambisi strategis tersebut tentunya tidak mudah. Menurut Richard N.Haass dalam (“The New Middle East”: 2006), membentuk Timur-Tengah Baru dari luar akan sangat sulit, dan ini menjadi tantangan utama kebijakan luar negeri AS selama beberapa dekade yang akan datang.
Pandangan Richard tentu didasarkan pada kenyataan pasca runtuhnya Saddam Husein di Iraq bahwa pergantian sebuah rezim otoriter di Timur-tengah melalui pendekatan militer, memerlukan biaya besar dan beresiko tinggi (high cost and high risk). Maka dalam konteks revolusi ini, kekuatan (oposisi) yang memiliki komitmen kuat untuk mengubah status quo tampaknya memang terus digerakkan.
Sudah jamak diketahui, sejak revolusibergolak di Dunia Arab, kelompok-kelompok pro demokrasi yang berada di luar negeri turut serta bergerak melakukan demonstrasi di sejumlah kota di Eropa dan Amerika Serikat. Ini menjadi sebuah fenomena menarik bahwa secara kasat mata revolusi di Dunia Arab tidak hanya bergerak dari dalam, tetapi juga digerakkan dari luar.
Kelompok oposisi (National Association for Change) yang dipimpin mantan Direktur (IAEA) dan periah Nobel Perdamaian (2005), Mohammed AlBaradei yang ikut mendalangi demontrasi menurunkan Presiden Hosni Mubarak di Mesir didukung Barat. Demikian pula Kelompok oposisi (National Transitional Council) Libya. Trend setterpolitik seperti ini tentu bisa terjadi di Yaman dan Suriah.
Dilema Demokrasi
Pasca revolusi, Tunisia dan Mesir kini memasuki babak transisi menuju demokrasi. Partai-partai baru bermunculan bagai jamur di musim hujan. Euforia politik kembali menggeliat membangkitkan antusiasme baru berbagai elemen untuk berkiprah dalam kancah politik. Gerakan Islam An-Nahda (Islamic Movement An-Nadah) yang dilarang berkativitas pada masa Ben Ali berkuasa, sejak 1 Maret 2011 sudah bermetamorfosis menjadi partai politik.
Pemimpin partai Islam ini, Rachid Al-Gannoushi (69 tahun), yang tinggal di pengasingan (London) selama 22 tahun sudah kembali ke Tunisia. Berdasarkan hasil polling sebuah Lembaga Survei di Tunisia bulan Maret lalu, di antara parta-partai oposisi Tunisia, partai An-Nahdah ( An-Nahdah Party) berada pada urutan pertama dengan dukungan (29%,), selanjutnya Partai Demokrasi Progressif (12.3%) dan Gerakan Et-Tajdid (The Movement Ettajdid) 7.1%.
Dengan dukungan masyarakat yang cukup signifikan terhadap partai Islam ini, kelompok sekuler semakin khawatir, sehingga melahirkan perdebatan mengenai arah konstitusi Tunisia apakah akan berkiblat ke “Kabul” atau “Istambul” sebagai simbol “islamis” atau “sekuler”.
Al-Ikhwanul Al-Muslimun (IM) pada 30 April 2011, juga mengumumkan pembentukan partai baru bernama (Hizb Al-Huriyah wa Al-Adalah” (Freedom and Justice Party/FJP) sebagai wadah bagi loyalis IM yang oleh Barat kerap dianggap sebagai kelompok Islam yang kurang akomodatif terhadap kepentingannya dan Israel khususnya.
Kekuatan IM yang berbasis agama tidak mustahil akan menjadi mesin politik “Freedom and Justice Party” yang sangat tangguh. Pada pemilihan anggota legislatif Mesir tahun 2005, IM memperoleh 88 (20 %) kursi di Parlemen melalui wakil-wakil independen. Platform (FJP) lebih terbuka-dan mau mengakomodir berbagai elemen masyarakat Mesir, termasuk dari kalangan Kristen Koptik. Hanya saja, slogan “Islam Is Solution” yang selama ini diusung IM sebagai bagian dari agenda politik terbentuknya “Islamic Constitution“ masih menjadi perdebatan di kalangan IM sendiri. Pasalnya, jika slogan tersebut masih dipertahankan, bisa menjadi batu sandungan tersendiri bagi FJP dan IM dalam rangka memperoleh dukungan pihak-pihak luar, termasuk Barat.
Sejauh ini, demokrasi di Dunia Arab masih menyisakan tanda tanya. Jika partai-partai Islam (An-Nahdah Party dan Freedom and Justice Party) menang dalam pemilu di Tunisia-Mesir apakah kelompok sekuler dan Barat akan mengakuinya? Dengan demikian, maka revolusi di Dunia Arab selanjutnya belum tentu menjamin adanya demokrasi, justru sebaliknya bisa melapangkan jalan bagi disintegrasi. Inilah dilemma demokrasi di Dunia Arab. Wallahu A’lam.
*) Pemerhati Poitik Islam dan Hubungan Internasional, Tinggal di Oslo, Norwegia