Menelusuri Jejak Jaringan Islam Jihadi di Indonesia

Oleh : Fathurrahman Yahya/ Alumnus Pascasarjana Peradaban Islam-Kajian Politik Islam, Universitas Ezzitouna, Tunisia.

Terkait dengan maraknya aksi peledakan bom yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia pasca reformasi, International Crisis Group (ICG) untuk wilayah Asia Tenggara pernah membuat laporan detail mengenai kelompok ekstremis Islam di Indonesia, utamanya Jamaah Islamiah (JI) dan sempalan-sempalan NII (Ring Banten), yang  diduga terlibat dalam peledakan bom di Kantor Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004 lalu. 

Laporan tersebut sempat membakar emosi banyak kalangan, termasuk juru bicara Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Irfan S. Awwas. Menurut Awwas, laporan ICG yang dirilis Sidney Jones, hanya didasarkan pada data-data sampah yang tak berguna, dan Sidney Jones tidak lain hanya mengais-ngais dokumen peradilan yang sudah lama menjadi sampah yang teronggok di sudut rumahnya. 

Laporan ICG menjadi kontroversi, karena secara implisit, telah mengekspos generasi-generasi bomber dari jaringan Jamaah Islamiyah  dan membongkar peta jaringan kelompok NII yang bermetamorfosis menjadi sempalan-sempalan Islam Jihadi yang tergabung dalam kelompok Ajengan Masduki, Adah Djaelani, Tahmid (putra Kartosuwirjo), KW 9 Abu Toto, KW9 Mahfud Shiddiq, Ring Banten-Kang Jaja (Akhdam), Batalyon Abu Bakar (AMIN/Angkatan Mujahidin Islam Nusantara), Jamaah Islamiyah, dsb. Akibatnya, Sidney Jones sempat dicekal dan dilarang memasuki wilayah Indonesia. 

Nah, berawal dari kerisauan psikologis Nur Khalik Ridwan atas merebaknya “kelompok Islam baru” (Islam Jihadi) yang mengusung jargon-jargon Negara Islam Indonesia, melakukan sweeping, pengeboman dan tindak-tindakan anarkis lainnya,  aktivis muda NU DI Yogyakarta ini termotivasi untuk mengungkap jaringan kelompok bomber  yang justru bukan berasal dari sarang organisasi Islam yang sudah mapan semacam NU dan Muhammadiyah. Bahkan, bukan dari jaringan kelompok Islam yang selama ini dianggap radikal semisal FPI, Laskar Jihad dan sejenisnya. Lalu, siapa dan dari manakah kelompok Islam Jihadi Indonesia  itu berasal?

Melalui buku “Regenerasi NII : Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia”, Nur Khalik Ridwan mencoba melakukan telaah kritis dan pembacaan secara konprehensif terhadap gerakan kelompok Islam Jihadi, utamanya kelompok yang berada di bawah jaringan organisasi NII (Negara Islam Indonesia).

Metamorfosis NII

Jasad SM Kartosuwirjo, Kahar Muzakkar dan Daud Beureueh memang sudah mati, tetapi pemikiran dan ruh (semangat) mereka masih hidup. Pikiran dan semangat tokoh-tokoh Darul Islam/Negara Islam Indonesia (NII) tersebut bangkit kembali, seperti  patah tumbuh hilang berganti. Basis-basis DI di tahun 1950-an yang saat ini bermetamorfosis – menjadi basis pendukung gerakan Islam Jihadi – di Indonesia semakin mengukuhkan diri menyuarakan komando jihad.  

NII, organisasi yang didirikan SM Kartosuwiojo pada tahun 1948 itu, kini telah mengalami pergeseran, baik dari segi ide maupun pola gerakan yang dibangun. Namun, pergeseran pola tersebut ke dalam berbagai bentuk, tidak menggeser gagasan dan ide awal gerakan NII, yaitu mendirikan Negara Islam Indonesia dan menegakkan syariat Islam. 

Dalam konteks ini, para pentolan pergerakan tersebut bersepakat bahwa memang ada upaya-upaya pengejawantahan ideologi NII oleh generasi sekarang. Beberapa tokoh penting yang pernah menjadi tokoh front pembela NII seperti Umar Abduh, al-Chaidar, Widjiono Wasis dll. ikut memberi pemetaan regenerasi NII pasca kekalahannya pada tahun 1962.

Widjiono wasis menyebutkan bahwa Darul Islam (DI) masih ada dan mereka menyebutnya Jamaah DI, sebagai jamaah bekas anggota DI/TII di masa lalu.  Mereka bergerak seperti angin, tak tampak di permukaan, tetapi selalu ada. Dakwah merupakan jalan pilihan perjuangan mereka, karena melalui dakwah aspirasi NII bisa dikumandangkan (hal. 10). Namun demikian, menurut Wasis, di dalam NII sendiri terjadi friksi-friksi dan perselisihan, karena masing-masing kelompok mengklaim sebagai pewaris tunggal Kartosuwirjo.

Berbeda dengan Widjiono Wasis, Umar Abduh melihat bahwa pasca kekalahan 1962, basis gerakan NII sudah hancur-lebur. Tetapi, kevakuman kepemimpinan mendorong semangat eks generasi DI/TII untuk bangkit kembali, melanjutkan perjuangan NII dengan meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur organisasi kenegaraan NII itu sendiri. Kelompok ini menamakan diri NII Fillah,  dijalankan seca kolektif oleh Kadar Solihat dan Djaja Sujadi, Mereka adalah mantan pejuang NII yang sudah mendapatkan amnesti dari pemerintah orde baru, tetapi tidak mau bersumpah setia sebagaimana dilakukan para petinggi NII lainnya.(hal.13) 

Dalam analisa Umar Abduh, sebenarnya ada desain NII dari pihak luar dengan argumen bahwa para dalang di balik Komando Jihad (komji)  misalnya Daud Beureueh, Adah Djaelani, Danu Muhammad Hasan, dan Aceng Kurnia adalah orang-orang yang saat itu dekat dengan BAKIN. Seperti itulah eksistensi NII pasca kekalahan tahun 1962 menurut Widjiono Wasis dan Umar Abduh.  

ICG membuka tabir sejarah 

Setidaknya, laporan ICG membuka tabir sejarah bahwa ada hubungan erat antara NII dengan BAKIN sepertihalnya penjelasan al-Chaidar.  Kesediaan orang-orang NII dan kemauan BAKIN untuk memfasilitasi pertemuan NII lewat Ali Moertopo, karena ada ambisi Ali Moertopo (waktu itu deputi BAKIN) untuk menjadi wakil Presiden dengan janji akan berusaha mendirikan Negara Islam. 

Menurut al-Chaidar, andai saja Ali Moertopo berhasil menjadi Wapres, maka sasaran selanjutnya adalah Soeharto, dan Moertopo akan menetralisasi keadaan dengan cara apapun, hingga ia menjadi Presiden. Untuk mencari salah satu dukungan dan alat melancarkan gerakan-gerakan,  Moertopo mengorganisasi eks NII. Hanya saja, agenda pribadi Ali Moertopo ini menjadi persoalan di BAKIN, sehingga menimbulkan kebangkitan kembali eks NII yang tidak bisa dikendalikan BAKIN, justru mereka memanfaatkan BAKIN untuk kepentingan mereka. (hal.107)

Dengan jejaring generasi NII yang begitu kokoh, ICG menggambarkan bahwa DI/NII merupakan sebuah organisasi luar biasa yang sangat tangguh dan mengalami rotasi kepemimpinan yang silih berganti. Setiap kepemimpinan lama yang tidak lagi efektif, muncul anggota yang lebih muda dan lebih militan membawa angin segar ke dalam organisasi, sembari membawa tafsiran baru atas amanat yang diembannya. Menurut ICG, basis-basis DI di tahun 1950-an, saat ini bermetamorfosis menjadi basis-basis pendukung Islam Jihadi. (hal.209)

Tampaknya sistem usroh (kekeluargaan) seperti yang dianut gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, menjadi model kaderisasi di tubuh DI/NII. Sistem ini merupakan bentuk premajaan DI/NII, sehingga pada pertengahan tahun 1980-an terjadi peningkatan rekrutmen  pelaku jihad dalam jumlah besar, utamanya di Jakarta dan wilayah Jawa. (hal. 237)

Sungguhpun Nur Khalik Ridwan tidak melakukan penelitian secara faktual di lapangan, dan hanya berdasarkan laporan ICG dalam Daur Ulang Militansi Indonesia, buku ini layak dibaca, setidaknya untuk memperkaya data dalam mengenali secara detail jaringan-jaringan DI/NII dan faksi-faksinya yang menurut Laporan ICG menjadi pendukung gerakan Islam Jihadi di Indonesia. Benarkah demikian? 

*) Artikel ini sudah dimuat di Pontianak Post

______________________

Data Buku

Judul :Regenerasi NII: Membedah Jaringan Islam Jihadi di                                                                                Indonesia

Penulis : Nur Khalik Ridwan

Penerbit : PT Erlangga

Edisi : Juni 2009

Tebal : 290 halaman

Next Post

Laureats 2018 : Penghargaan Terhadap Hak-Hak Perempuan

Wed Jul 3 , 2019
Share on Facebook […]