Di sela kunjungan singkatnya ke Norwegia, Selasa (22/4/2014), mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang saat ini juga masuk dalam bursa calon Presiden dari PKS, DR.Hidayat Nur Wahid tidak keberatan ketika diminta berbincang dengan PelitaOnline terkait situasi politik di tanah air pasca pemilu legislatif 2014, termasuk soal arah peta koalisi Partai Keadilan Sejahtera yang sebelumnya sering disebut sejumlah Lembaga Survei akan mengalami degradasi perolehan suara pada pemilu 2014.
Dari perbincangan DR. Hidayat Nur Wahid dengan Fathurrahman Yahya dari PelitaOnline.com di Oslo, Selasa (22/4/2014) tampak adanya sinyalemen inklusivitas partai Islam berbasis dakwah ini. Terkait konsep kebangsaan mislanya, bagi Hidayat Nur Wahid (HNW), Islam dan Negara tidak perlu dipertentangkan, tetapi perlu saling dikuatkan. Bahkan, menurut Nur Wahid, PKS siap untuk berkoalisi dengan partai nasionalis sekuler, berikut petikannya.
POL : Perolehan Suara PKS di beberapa negara cukup signifikan, Apa yang Anda bisa katakan kepada konstituen Anda, baik di luar negeri maupun dalam negeri?
HNW : Pertama saya harus sampaikan syukur Alhamdulillah dan terimakasih kepada warga negara Indonesia di luar negeri dan dalam negeri yang masih tetap peraya dengan PKS dan bahkan, di banyak tempat memenangkan PKS. Tentu saja, saya paham bahwa itu melalui perjuangan yang sangat serius dan argumentasi yang kuat, termasuk juga keyakinan bahwa prahara yang terjadi dimana diharapkan PKS bisa dibonsai dari percaturan politik Indonesia, ternyata dijawab oleh warga negara Indonesia dengan keyakinan bahwa PKS memang layak untuk dipercaya, layak untuk tetap ada, bahkan layak untuk diperjuangkan dan dimenangkan.
POL : Selama ini, lembaga-lembaga survei kerap memposisikan PKS dalam posisi degradasi, menurut Anda?
HNW : Perolehan suara PKS yang signifikan, tentu berlawanan dengan maunya lembaga survei yang sejak awal memposisikan PKS tidak akan lolos Parlementary Treshold (Ambang Batas Parlemen) dan sebagainya.
Dari dulu, PKS selalu mengatakan kami sangat hafal dengan lembaga survei dan kami tahu sejak 2004 lembaga survei selalu salah ketika mensurvei PKS. Tahun 2004 salah, tahun 2009 salah, dan tahun 2014 juga salah. Oleh karenanya, kepada kader maupun simpatisan PKS di luar negeri khususnya, saya harus mengapresiasi dan berterimakasih. Tapi kami juga mohon tetap diawasi dan diingatkan agar amanah ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat menjadi bukti bahwa sebenarnya Islam dan politik, Islam dan demokrasi, Islam dan kemoderenan serta Islam dan globalisasi bukan hal yang dipertentangkan, tetapi justru saling dikuatkan. Dengan demikian, maka kita bisa membayangkan supaya Indonesia lebih baik, termasuk juga peran umat Islam yang lebih konstruktif ke depan.
POL : Dalam konteks ke-Bhinnekaan (Indonesia), bisa Anda jelaskan seperti apa visi PKS mengenai konsep kebangsaan, sementara PKS merupakan partai Islam?
Sesungguhnya Islam, Keindonesiaan dan kebhinnekaan sudah selesai, karena kalau kita harus melihat sejarah, maka kita akan mendapatkan fakta yang paling konkrit ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan Indonesia masih dalam semangat Piagam Jakarta, dimana tujuh kata di dalamnya masih ada. Ketika malam hari 17 Agustus 1945, delegasi yang menemui Bung Hatta yang mengatasnamakan sebagian kelompok Indonesia Timur yang tidak akan masuk Republik Indonesia apabila tujuh kata itu ditetapkan, umat Islam waktu itu dalam rangka menjaga kemerdekaan, kedaulatan dan kelanjutan Republik Indonesia, mereka merelakan tujuh kata itu untuk dicoret kemudian diganti dengan kata Ketuhanan Yang Maha Esa.
Itulah salah satu bukti yang paling konkrit bahwa politik Islam dan umat Islam mau menghargai, menghormati dan mewadahi kebhinnekaan itu yang kemudian diterima menjadi realitas tentang ke-Indonesiaan kita, bahkan kalau perlu berberkorban dengan pengorbanan yang luar biasa. Jadi, kalau sekarang masih ada yang mempersoalkan Islam dan demokrasi, Islam dan Keindonesiaan, Islam dan NKRI maupun Islam dan Bhinneka Tunggal Ika, jelas merupakan pemikiran yang ketinggalan zaman yang akan menghidupkan kembali politik Islamophobia yang justru sangat ditentang oleh Bung Karno.
Ketika waktu itu Bung Karno mendialogkan asas negara, termasuk tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, justru beliau dengan tegas menyampaikan kita terima yang ada dulu nanti kita perjuangkan melalui mekanisme di konstituante. Jadi, itu bukan suatu hal yang difobiakan, justru merupakan realitas bahwa dari dulu peran umat Islam sangat kuat tidak dalam dikotomis, namun dalam konteks kontributif. Ketika umat Islam memberikan kontribusi luar biasa dan menghadirkan peran politik yang tidak bisa disepelekan, termasuk ketika lembaga-lembaga survei menjelang pemilu 2014 ini hampir seluruhnya menyebut bahwa partai-partai Islam jeblok, akan ditinggal dan anak-anak muda akan memilih partai nasionalis, nyatanya perolehan partai-partai Islam hasilnya dua kali lipat dari apa yang diduga.
Maka, bagi saya ahistorik, ketika kelompok partai politik Islam di DPR, kemudian masih dicurigai, diperlakukan dengan tidak adil misalnya ketika kelompok partai Islam kemarin diundang oleh Ormas Islam dan mereka bertemu, kecurigaannya sudah luar biasa sangat tinggi dengan munculnya istilah Poros Tengah dan sebagainya. Tetapi, ketika kelompok partai nasionalis sekuler bertemu tidak ada masalah tuh, padahal kelompok partai Islami dan nasionalis sekuler dua-duanya merupkan dua rumpun politik yang menginduk pada undang-undang yang sama. Jadi, mestinya tidak perlu dilakukan dikotomi, silahkan kalau partai nasionalis bertemu dan kalau partai Islami bertemu silahkan, tidak perlu dicurigai, semuanya harus didudukkan pada realita semangat Bhinnekan Tunggal Ika, dan itulah realita kalau kita mau memperkuat NKRI kita, dan itulah Indonesia.
POL : Tampaknya, PKS lebih rileks dibandingkan dengan partai-partai menengah lainnya dalam menentukan koalisi, apakah PKS masih menunggu dan mencermati terlebih dahulu koalisi ke depan?
HNW :Secara prinsip, kami tidak dalam ”wait and see”, tetapi kami mengkritisi dan mengingatkan. Pertama, kami mengkritisi koalisi yang dibangun secara ”grusa–grusu”, karena belum jelas riil perolehan suara masing-masing partai, tetapi atas dasar quick account (hitung cepat) kemudian semuanya seolah-olah sudah selesai dan atas dasar itu bangunan koalisi akan dibangun. Kedua, kami mengkritisi karena koalisi yang ”grusa grusu” tidak dilandasi dengan platform tentang program ke depan. Jadi, yang dibicarakan hanya tentang ”sharing of power” atau pembagian kursi. Ketiga, kami juga mengawasi kaitannya dengan perolehan suara bahwa pemilu sekarang ini masih memilih wakil rakyat, dimana anggota DPR mestinya mereka mendengarkan suara rakyatnya yang memilih.
Nah, sekarang rakyat suaranya dicoba untuk diaduk-aduk dengan digelembungkan, dicurangi dan dibeli. Seharusnya partai-partai politik menyelamatkan suara-suara rakyat yang telah diberikan melalui pencoblosan itu, jangan malah menjadi agenda elit menentukan koalisi ke sana kemari yang belum tentu sesuai dengan kemauan rakyat, wong cilik, kaulo alit (rakyat kecil :red). Jadi, kami tidak wait and see, tapi kami mengkritisi dan mengingatkan karena kalau kami hanya menunggu seolah-olah kami hanya menjadi penonton.
Kami juga bermain, tetapi permainan kami bukan ikut ikutan. Kami pastikan bahwa berpolitik harus melalui komunikasi, tapi tidak ”grusa grusu”. Koalisi harus dilakukan karena memang tidak ada yang mayoritas mutlak sekarang, tapi harus berbasis program, kinerja dan berbasiskan zaken kabinet serta berbasis komitmen untuk tidak mengulangi beragam celah negatif dari koalisi pada masa yang lalu. Kami juga sekali lagi mengingatkan suara rakyat harus diselamatkan, jangan para elit ketawa-ketiwi ke sana ke mari, sementara suara rakyat sedang dikuyo-kuyo (baca: dicurangi-didzalimi red), dibeli, diperjulbelikan, digelembungkan, dikurangi dan itu mencedrai kedaulatan rakyat.
POL : Dalam pertemuan elit partai Islam dan ormas Islam di rumah Hasyim Ning beberapa waktu yang lalu, PKS tampaknya sangat serius mengutus tiga elit partainya, termasuk Anda sendiri, apa yang diharapkan PKS dalam rencana koalisi yang digagas Amien Rais itu?
HNW : Pertama, program itu bukan programnya pak Amien Rais ya. Pertemuan di Cikini bukan pak Amien Rais yang mengundang, yang mengundang adalah koalisi politik umat Islam. Kordinatornya adalah pak Bakhtiar Nasir (alumni Gontor) dan salah satu pimpinannya adalah K.H.Abdur Rasyid As-Syafi’ie. Beliau dari ormas Islam mempunyai aspirasi yang harus disampaikan kepada umat Islam dan kami diundang, lalu kami datang. Ini bukan gagasannya pak Amien Rais, dan sebutan koalisi Indonesia Raya hanyalah usulan pribadi beliau, tapi tidak pernah menjadi keputusan. Itu wacana yang terus dikritisi dan pada malam itu tidak terjadi pengkritisan yang cukup tajam, hanya intinya silaturrahim dan saling bertemu adalah wajib.
Sudah seharusnya partai Islam setelah kemarin dipilih untuk mendengarkan aspirasi dari warga, dan setelah mendengarkan lalu didialogkan, dimusyawarahkan kemudian diperjuangkan, mudah-mudahan bisa berhasil. Tapi bagi kami, itu adalah alternatif pertama yang harus diperjuangkan ; yaitu memperjuangkan aspirasi umat yang telah mereka suarakan. Berikutnya, tentu akan ada rasionalisasi untuk memperjuangkan aspirasi umat ini.
Seandainya saja pada pemilu kemarin ormas-ormas Islam bisa sukses menyuarakan agar partai Islam diberi suara yang setara dengan suara PDIP misalnya, itu dengan sendirinya akan menjadi magnet yang luar biasa. Tapi nyatanya, suara Demokrat misalnya lebih tinggi dari pada suara untuk partai Islam. Memang kalau dikumpulkan suara kelompok partai Islam lebih dari 32 persen, tetapi kalau dikumpulkan lagi bisa mencapai 68 persen. Jadi, saya kira menjadi bagian yang perlu dikritisi sehingga pada akhirnya nanti akan berlaku kaedah ”Laa Yukallifullahu Nafsan Illa Wus’aha” (Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai apa yang diusahakannya).
Kita tetap maksimal untuk memperjuangkannya, tetapi ketika suara kita memang hanya segitu karena umat Islam memberikan suara segitu, saya kira ini tanggung jawab sejarah untuk menjadi catatan dalam pemilu 2019 yang akan datang.
POL : Sekiranya koalisi ”Indonesia Raya” tidak terbentuk seperti yang diharapkan, Apakah PKS akan berkoalisi dengan poros Gerindra atau Golkar atau PDIP atau akan menjadi oposisi?
HNW : Pertama, PKS akan mengupayakan maksimal agar koalisi tadi bisa terbentuk. Kalaupun tidak, maka plan keduanya memang kami mengajak agar ada kebersamaan untuk berkoalisi dengan ”partai nasionalis sekuler” yang bisa memperjuangkan aspirasi ummat. Tentunya, harus ada kontrak politik, tidak boleh kosongan, pasrah atau ikhlas. Karena ini bukan masalah ikhlas, tapi menyelamatkan umat harus ada hitam di atas putihnya dan karenanya PKS sudah punya pengalaman. Bahkan kita (PKS) beroposisipun pernah-sendirian pada zaman Megawati di luar kabinet, dan kami tidak ada masalah atau kami pernah berkoalisi dengan PAN waktu mengusung pak Amien Rais, lalu kami diajak berkoalisi dengan Demokrat dan Golkar.
Jadi pengalaman semuanya itu ada, Majelis Syura yang akan memutuskannya pada hari Ahad, tanggal 27 April yang akan datang. Mudah-mudahan menjadi keputusan yang terbaik untuk kemaslahatan umat dan kemaslahatan bangsa.|POL