Hiramedi, 1 Maret 2019
Oleh : Fathurrahman Yahya
Menko Puan Maharani bersama Kaukus Perempua Politik Indonesia (KPPI)/Foto: Pool
Jakarta – Tulisan Tsamara Amany berjudul Perempuan Milenial Progresif dalam rubrik Kolom detikcom, 26 Januari 2018 menarik untuk dicermati. Menariknya, politisi dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu mengajak kaum perempuan, utamanya perempuan muslim Indonesia untuk berpartisipasi dalam dunia politik mengisi ruang representasi 30 % di parlemen yang masih terbuka lebar.
Hak-hak politik kaum perempuan selalu menjadi diskursus yang tak pernah usai. Pertanyaan yang selalu mengusik kita, mengapa tingkat partisipasi politik kaum perempuan di sejumlah negara (berpenduduk mayoritas) Islam, termasuk di Indonesia sangat kecil? Adakah sekat-sekat sosiokultural yang menghambat mereka memasuki ruang publik-politik yang kerap menjadi privasi laki-laki? Bukankah sejarah telah memberi pelajaran bahwa banyak perempuan yang sukses menata kehidupan publik termasuk kehidupan politik?
Tulisan ini coba mengurai pertanyaan di atas sekaligus mengukuhkan hak-hak kesetaraan perempuan secara teologis (Islam) dan peran mereka dalam percaturan politik modern, sebagaimana diperankan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma).
Paradigma Tafsir dan Fikih
Sejak abad ke-20 M, isu-isu pemberdayaan, kesetaraan, dan hak-hak publik perempuan sudah didengungkan oleh para kampion gerakan feminisme di dunia Islam misalnya Qasim Amin dan Nawwal Sa’dawi di Mesir, Fatima Mernissi di Maroko, dan Riffat Hasan di Pakistan.
Mereka menyerukan pemberdayaan kaum perempuan melalui pendidikan, kesempatan kerja, bahkan partisipasi politik. Lewat bukunya Le Harem Politique Le Prophetee Les Femmes, Mernissi menganjurkan penafsiran kembali teks-teks klasik Islam (tafsir dan fikih), karena di dalamnya ada kecenderungan misoginis yang secara sistematik menanamkan kebencian terhadap perempuan.
Sejauh ini, upaya-upaya pemberdayaan kaum perempuan melalui pendidikan formal maupun informal sudah menunjukkan adanya hasil signifikan. Tetapi, sejauh ini pula muncul pertanyaan, mengapa peran publik-politik kaum perempuan di sejumlah negara (berpenduduk mayoritas) Islam, termasuk di Indonesia kerap dipersoalkan?
Tanpa dipungkiri, kisah penciptaan (Adam dan Hawa) yang dilansir dalam Israiliyaat dan Bibel bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari bagian tulang rusuk laki-laki (Adam) ikut mempengaruhi penafsir dan ahli fikih dalam menafsirkan teks-teks dasar Islam. Mitos yang berkembang dalam tradisi pra Islam ini kemudian ikut memperburuk potret kaum perempuan, ditambah lagi dengan stereotip misoginis (kebencian) bahwa perempuan (Hawa) menjadi penyebab keluarnya laki-laki (Adam) dari surga. Padahal, dengan tegas Tuhan menyatakan bahwa setanlah yang menjerumuskan keduanya (Q.S. Al-A’raf: 20-23)
Jika kita menelaah buku-buku fikih klasik (jurisprudensi Islam), sebut misalnya kitab Ahkâm An-Nisa’ dan Talbîs al-Iblîs karya Ibnu al-Jawzi ( 510-590 H.) tampak bahwa perempuan adalah jenis manusia yang memerlukan nasihat lebih daripada laki-laki. Karena secara instingtif perempuan dianggap berwatak “bodoh” dan “lemah akal”.
Potret perempuan sebagai makhluk lemah, penebar fitnah, dan penggoda yang menyebabkan Adam keluar dari surga masih berpengaruh kuat di lingkungan masyarakat Islam.
Dengan image demikian, sulit bagi perempuan untuk mengisi ruang publik, apalagi berpartisipasi dalam ranah politik. Politik menjadi ruang bebas yang bisa diisi laki-laki, tetapi tertutup bagi perempuan, sehingga perempuan terpinggirkan dari proses pembangunan. Mereka kerap tersingkirkan dari tugas-tugas sosial dan struktural, karena dianggap lemah fisik dan akal. Perempuan kurang memperoleh kesempatan untuk beraktualisasi dalam dinamika sejarah, bahkan prestasi dan hasil aktualisasi perempuan kerap tidak tercatat dalam sejarah (Latifa Lakhdar: 2007).
***
Sejak periode awal Islam, perempuan muslim memang sudah menyadari adanya ketidakadilan, diskriminasi, dan marginalisasi. Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad mencoba memperjuangkan ketidakadilan tersebut dan mengajukan protes kepada Nabi dengan sebuah tuntutan, “Wahai Rasulullah, mengapa kaum laki-laki selalu disebut-sebut dalam peristiwa hijrah, sedangkan kami (perempuan) tidak?” Nabi menyadari tuntutan tersebut, kemudian beliau mengadukannya kepada Allah, lalu turunlah ayat, “Maka Allah telah mengabulkan tuntutan mereka, sesungguhnya Kami tidak akan menghilangkan perbuatan seseorang di antara kalian baik laki-laki maupun perempuan (Q.S. Ali Imran: 195).
Ayat di atas merupakan pengakuan teologis yang sangat genuineyang dirancang Tuhan untuk melapangkan jalan bagi perempuan menuju ruang luas yang selama ini diisi laki-laki, yaitu ruang publik. Maksud esoterik ayat tersebut bahwa aktualisasi diri perempuan akan mendapat apresiasi yang sama seperti laki-laki, sehingga peran mereka tidak akan sia-sia. Bahkan, keduanya memiliki peran sejajar dalam menjalankan tanggung jawab publik, sosial-politik dengan melakukan amar makruf nahi munkar (Q.S. At Taubah: 71).
Eksprimen Sejarah
Peran publik (politik) yang diejawantahkan seorang perempuan semisal Ratu Balqis, penguasa negeri Saba sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. An-Naml: 44 tidak terbantahkan. Oleh karena itu, Al-Quran mengabadikannya sebagai perempuan yang tangguh, bijak, dan memiliki keunggulan (fadhlun) mental dan intelektual. Tuhan menganugerahkan keistimewaan kepada perempuan dan laki-laki, sehingga kata arrijâlu qawwâmûna alâ an-nisâ’ (Q.S.An-Nisa’: 34) tidak serta merta dijadikan alasan untuk melemahkan posisi kaum perempuan.
Di dalam kitab Usd al-Ghabati fi Ma’rifat al-Sahabati Jilid 7 karya Ibnu Al-Atsir disebutkan bahwa ketika Khalifah Umar bin Khattab membentuk Badan Pengawas di kota Madinah, beliau menunjuk seorang perempuan bernama Al-Syifa’ binti Abdillah untuk memimpin lembaga tersebut. Dengan demikian berarti bahwa Al-Syifa’ ditunjuk karena memiliki kapabilitas untuk melakukan pengawasan terhadap masyarakat yang ada di pasar dan sekitarnya, termasuk masyarakat laki-laki. Masih ragukah kita terhadap keutamaan (fadhlun) yang diberikan Tuhan kepada perempuan?
Dalam konteks sejarah politik Indonesia modern, tidak sedikit perempuan muslim yang berkiprah dalam dunia politik dan memiliki kemampuan manajerial serta kepemimpinan yang tidak kalah dengan laki-laki dalam urusan tata kelola kota dan pemerintahan, sebut misalnya Walikota Surabaya, Tri Rishamaharini atau yang populer dipanggil Risma.
Sebagai politisi perempuan yang sukses, Risma layak menjadi contoh paradigmatik dalam konteks pemikiran politik Islam. Partai-partai Islam yang dahulu bersikap ragu bahkan menganggap tabu seorang perempuan menjadi pemimpin (politik-pemerintahan) karena rigiditas pemahaman dan penafsiran terhadap ayat “arrijaalu qawwamuna ala annisa´“, saat ini justru tidak ragu-ragu untuk mengakomodasinya.
Berbagai prestasi dan penghargaan yang diraihnya, baik nasional maupun internasional, walikota yang diusung PDI-P ini, setidaknya telah mengubah image perempuan, utamanya perempuan muslim yang selama ini kerap hanya ditempatkan dalam ranah domestik sebagai ibu rumah tangga.
Ia tidak hanya menjadi representasi politisi perempuan dalam tingkat lokal, tetapi menjadi ikon politik Islam dalam level nasional dan internasional. Ia berhasil melakukan tata kelola kota Surabaya dengan pendekatan-pendekatan yang humanis. Lebih dari itu, Risma dinilai mampu melakukan transformasi kultural dalam struktur pemerintahan dari pola patriarkat menjadi pola emansipatoris melalui penerapan kebijakan tanpa bias gender, sehingga jabatan Kepala Dinas di lingkungan Pemkot Surabaya berimbang (50:50) antara laki-laki dan perempuan.
Ijtihad politik yang dilakukan Risma setidaknya akan memberi rangsangan dan stimulasi politik bagi perempuan-muslim Indonesia khususnya untuk memenuhi kuota 30% mengenai keterwakilan perempuan di parlemen sebagaimana diatur undang-undang, dan mengikis bias gender dalam struktur pemerintahan kota.
Walhasil, peran dan partisipasi politik perempuan sangat diperlukan, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Kaum perempuan perlu hadir diberi ruang dan peluang dalam perdebatan etika-hukum dan rancangan legislasi baik di tingkat daerah maupun nasional, sehingga produk hukum dan undang-undang yang menyangkut hak dan kepentingan kaum perempuan merupakan hasil desain kaum perempuan itu sendiri.
Mengubah pola pikir kita tentang image perempuan yang selama ini dianggap sebagai makhluk lemah –fisik dan akal– memerlukan suatu gerakan penyadaran bukan hanya melalui pendekatan kultural, tetapi juga melalui pendekatan sosial politik.
Tugas cendekiawan muslim-ulama adalah membebaskan kaum perempuan dari kungkungan imaji-imaji masa silam tentang perempuan, mengikis sekat-sekat sosiokultural yang kerap menghambat partisipasi mereka dalam ranah politik. Sementara itu, para politisi, termasuk Tsamara Amany perlu terus merangsang “gairah” perempuan agar mereka terlibat dalam politik melalui edukasi politik yang mencerahkan, bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam dunia politik.
Fathurrahman Yahya Pascasarjana Pemikiran Politik Islam Ezzitouna Universite-Tunisia; jurnalis, tinggal di Oslo-Norwegia
Sumber : Detik.News, 1 Maret 2018