Rusia Akui Rezim Taliban: Pergeseran Peta Geopolitik Kawasan

Penulis : Fathurrahman Yahya, Dosen, Peneliti, Program Doktoral Kajian Komunikasi Politik dan Diplomasi Universitas Sahid Jakarta

Lihat Foto Dalam foto yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri Rusia pada Kamis (3/7/2025) ini menunjukkan, utusan Taliban yang baru ditunjuk untuk Moskwa Gul Hassan menyerahkan salinan surat kepercayaannya kepada Wakil Menteri Luar Negeri Andrei Rudenko di Moskwa.(KEMENTERIAN LUAR NEGERI RUSIA via AFP)

Kompas.com – 07/07/2025, 06:40 WIB /Editor Sandro Gatra

TATANAN geopolitik di Kawasan Asia-Asia pasifik, Timur Tengah dan Asia Tengah- sedang bergerak. Kekuatan tradisional dunia (Amerika Serikat-Rusia-China) terus melakukan reposisi menyeimbangkan pengaruhnya di Kawasan.

Di tengah kebisingan suara-suara diplomatik untuk meredakan konflik Iran-Israel dan Rusia-Ukraina, Pemerintah Moskow justru mengambil langkah politik-strategis menjadi negara pertama yang mengakui pemerintahan rezim Taliban sebagai penguasa sah Afghanistan, Kamis (3/7/2025). Padahal, banyak negara, termasuk negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) masih ambigu dan bersikap hati-hati untuk melakukannya.

Akhir intervensi barat

Keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin mengakui rezim Taliban merupakan titik balik yang sangat signifikan dalam dinamika geopolitik Eurasia, Asia Tengah dan Asia secara umum.

Langkah ini bukan hanya bentuk pragmatisme strategis pemerintah Moskow, melainkan sinyal tegas terhadap penataan kembali kekuatan global pascamundurnya Amerika Serikat dari Afganistan pada 21 Agustus 2021 lalu. Artinya, pengakuan Rusia atas pemerintahan Taliban yang dianggap banyak pihak sebagai rezim “ektremis” membuka babak baru dalam persaingan pengaruh antara Rusia, China, dan Barat di jantung Asia.

Pengakuan Rusia atas Taliban secara de facto melemahkan legitimasi proyek rekonstruksi demokrasi liberal ala Barat yang gagal bertahan di Afghanistan. Secara perlahan, Afganistan akan berada dalam pusaran perebutan pengaruh geopolitik di kawasan dan bisa menjadi bagian kekuatan baru melawan hegemoni barat-Amerika Serikat. Ideologi sosialisme ala Rusia dan China akan tumbuh menggantikan warisan intervensi demokrasi ala barat yang dipaksakan dan gagal di Afganistan.

Bagi Rusia, ini bukan sekadar keputusan diplomatik, tetapi juga simbol kejatuhan dominasi AS pascapenarikan pasukannya dari Kabul tahun 2021. Rusia ingin menegaskan bahwa pendekatan “nation-building” ala Barat tidak kompatibel dengan realitas politik dan sosial di kawasan yang kompleks seperti Afghanistan.

Dengan mengakui Taliban, berarti Rusia sudah menghitung dampak, risiko serta tantangannya. Maka, Rusia mesti mampu mengubah kelompok (Taliban) yang selama ini dipersepsikan sebagai ancaman, menjadi mitra strategis Rusia dalam rangka menjaga kepentingannya. Bagaimanapun, Rusia menginginkan stabilitas Afganistan di bawah Taliban, karena kekacauan yang dibiarkan tanpa kendali memungkinkan potensi infiltrasi ekstremisme ke wilayah-wilayah mayoritas Muslim di Asia Tengah dan Rusia bagian Selatan.

Dengan demikian, keberanian Vladimir Putin seolah menantang Barat-Uni Eropa-Amerika Serikat yang saat ini mengucilkannya karena perang melawan Ukraina. Pada saat yang sama, Presiden Putin menempatkan Barat-Uni Eropa dan AS dalam posisi serba sulit. Mereka tidak bisa mengakui Taliban tanpa syarat, namun juga tidak bisa mengabaikan realitas bahwa Taliban kini merupakan penguasa de facto yang harus diajak bicara. Baca juga: Rusia dalam Pusaran Perang Iran-Israel Pada akhirnya, mereka cenderung akan menjadi antitesis dari kekuasaan politik dan agensi kekuatan politik di Afganistan yang akan dikendalikan Rusia.

Kehadiran Rusia di Afganistan menandai berakhirnya intervensi Barat di negeri para Mullah, dan diyakini akan menggeser dan mengubah konfigurasi keseimbangan-keseimbangan geopolitik di kawasan. Keputusan Rusia ini tentu bukan tanpa sepengetahuan koleganya, yaitu China karena kedua negara-penantang hegemoni AS – memiliki kepentingan yang sama di Afganistan.

China dan Rusia memiliki kepentingan selaras dalam menjaga stabilitas Afghanistan, terutama demi kelancaran proyek-proyek seperti Belt and Road Initiative (BRI) dan Central Asia-Caucasus transport corridor. Namun, pengakuan Rusia atas rezim Taliban juga bisa menjadi bagian dari kompetisi senyap Rusia terhadap China.

Menunggu sikap China

China memiliki kepentingan besar di Afghanistan. Pertama terkait keberlangsungan proyek-proyek pembangunan jalur sutra Belt and Road Initiative (BRI) yang dirancang sejak pemerintahan Ashraf Ghani. Kedua, terkait stabilitas di Xinjiang yang secara teritorial beririsan dengan Afganistan, sehingga China tampak bersikap hati-hati terhadap rezim Taliban. Pengakuan Rusia terhadap rezim Taliban menjadi dilema bagi China. China tidak ingin terlihat terburu-buru mendukung rezim yang belum terbukti stabil dan inklusif. Namun, bersikap lambat akan dimanfaatkan Rusia. Bahkan, Rusia bisa mengambil ruang pengaruh sepenuhnya yang selama ini relatif diisi China.

Menjelang penarikan pasukan AS dari Afganistan (2021), sejumlah elite kelompok Taliban bergerak cepat mencari dukungan, baik politik, ekonomi maupun finansial dari negara-negara di luar blok aliansi Amerika Serikat seperti Rusia, Iran, dan China.

Pada 28 Juli 2021, Menteri Luar Negeri China, Wang Yi menyambut baik Kepala Komite Politik Taliban yang bermarkas di Doha, Qatar, Mullah Abdul Ghani Baradar di kota Tianjin, China. Mereka melakukan pertemuan untuk dapat bekerjasama dengan Taliban.

Dukungan Rusia, Iran dan China semakin menguatkan posisi Taliban saat itu dalam konteks hubungan diplomatik di kawasan. Terbukti, peralihan kekusaan di Afganistan berjalan mulus. Pascajatuhnya kota Kabul (15/8/2021), pergerakan geopolitik di kawasan mulai dinamis.

Beberapa hari, Utusan Khusus China untuk Afganistan, Yue Xiao Yong melakukan pertemuan dengan Menlu Iran, Javad Zarif di Teheran membahas masa depan Afganistan. Artinya, China benar-benar ingin mengambil peran di Afganistan. Bagi China, selain kepentingan ekonomi untuk terlibat dalam pembangunan di Afganistan sebagai bagian dari proyek (Beltd and Road Initiative), kepentingan keamanan (security interest) juga sangat penting.

Afganistan beririsan teritorial dengan Provinsi Xinjiang yang berpenduduk mayorits Muslim, sehingga China memagari wilayahnya agar tidak terdampak pengaruh radikalisme dan ekstremisme. Meski menjalin kontak dengan Taliban dan menjanjikan investasi, sejauh ini Beijing masih bersikap hati-hati dan belum memberikan pengakuan formal terhadap rezim Taliban. Hanya saja, Rusia selangkah lebih maju dari China.

Dengan langkah ini, Rusia mungkin ingin menjadi pionir dalam membentuk tatanan geopolitik pascagagalnya sistem demokrasi-kapitalieme ala Barat di Afghanistan—yang pada akhirnya akan memberikan leverage (manfaat) dalam negosiasi keamanan regional maupun global. Namun, Rusia tidak melupakan koleganya, yaitu China.

Bisa saja, Rusia dan China berbagi pengaruh di Afganistan untuk kepentingan keamanan, pertahanan dan ekonomi. Bagaimana dengan negara-negara Muslim? Pengakuan ini dapat mendorong negara-negara Muslim lain (terutama yang anti-Barat) untuk mengikuti langkah serupa, jika pemerintahan di Afganistan di bawah Taliban terus berlangsung stabil. Bisa saja, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menjadi platform baru Taliban dalam rangka mencari legitimasi politik dan diplomatiknya. Walaupun, banyak negara, termasuk negara-negara OKI masih skeptis terhadap kebijakan domestik Taliban—terutama soal hak perempuan, pendidikan, dan etnis minoritas.

Rusia telah meletakkan satu bidak penting dalam papan catur geopolitik di kawasan Eurasia. Dengan mengakui rezim Taliban, Moskow hendak menegaskan bahwa kekuatan global kini bergerak ke arah multipolar, tidak selalu mengacu pada nilai-nilai liberal Barat.  Yang jelas, babak baru telah dimulai, dan Afghanistan sekali lagi akan menjadi panggung baru dalam pertarungan pengaruh geopolitik regional dan global.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Rusia Akui Rezim Taliban: Pergeseran Peta Geopolitik Kawasan”, Klik untuk baca:  https://www.kompas.com/global/read/2025/07/07/064000870/rusia-akui-rezim-taliban–pergeseran-peta-geopolitik-kawasan.

Next Post

Pemerintah akan Bangun Gedung Pusat Pengelolaan Dana Umat di Bundaran HI

Tue Aug 19 , 2025
KontributorKontributor Senin, 18 Agustus 2025 · […]