Foto : Ilustrasi Pengamanan Ketat Saat Pengadilan Breiviks di Oslo/Fath
Penulis : Fathurrahman Yahya *)
Isu terorisme akhir-akhir ini menjadi topik pemberitaan media dan terus diperbincangkan dalam forum-forum regional dan internasional baik oleh akademisi maupun politisi. Isu tersebut menarik untuk dicermati karena sebagian kelompok muslim kerap terlibat dan “dilibatkan” sebagai pelaku dalam aksi teror mematikan, sekaligus korban.
Kekeliruan memahami makna jihad baik oleh kelompok jihadis muslim maupun kelompok non muslim, ungkapan terorisme kerap memunculkan imaginasi liar tentang korelasi antara Islam dan terorisme bahwa pelakunya adalah ekstrimis dan jihadis-muslim. Benarkan Islam menanamkan benih-benih “terorisme” melalui idiom jihad yang banyak tersurat dalam Al-Qurán? Apakah Islam membenarkan tindakan teror atas nama jihad melawan berbedaan agama dan keyakinan?
Ajakan “berjihad“ oleh kelompok tetentu (segelintir umat Islam) dengan aksentuase yang lebih ekstrim untuk melawan suatu kelompok karena perbedaan teologis dan ideologis, disadari atau tidak telah memberikan pemahaman bagi kelompok lain pula bahwa ajakan jihad dalam Islam adalah ajakan terorisme itu sendiri.
Stigmatisasi Islam dan umatnya sebagai pelaku teror dalam setiap aksi terorisme, juga telah melahirkan aksi hinaan dan pelecehan sarkastik terhadap Islam dan nabi Muhammad oleh kelompok tertentu yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi misalnya ; pemuatan karikatur-satire- oleh Harian Jyllands-Posten di Denmark, Tabloid Charlie Hebdo di Perancis dan pemutaran film “Innocence of muslims” yang dibuat di Amerika Serikat.
Dengan dalih kebebasan berekspresi, mereka mengorbankan tanggung jawab moral dan kemanusiaan sehingga banyak umat Islam yang menjadi korban, tidak saja korban psikologis, tetapi juga fisik. Bahkan, lebih dari itu mereka kehilangan hak-haknya saat berada di belahan negeri lain, diintrogasi secara berlebihan dalam proses imigrasi, diintimidasi, dll.
Mereka telah menanamkan stigma bahwa terorisme adalah penjelamaan dari pemahaman jihad yang banyak tertuang dalam Al-Qurán dan Hadis Nabi. Setiap ada ledakam bom atau peristiwa serangan bersenjata, umat Islam langsung menjadi target tuduhan karena Islam mengajarkan jihad kepada umatnya, sehinga kata jihad menjadi momok yang menakutkan. Padahal, kata jihad dalam Al-Qurán memiliki banyak dimensi makna dan spenktrum nuansa yang berbeda.
Ketika Nabi Muhammad SAW berdakwah di Mekkah, beliau dan para sahabatnya melakukan “jihad” menghadapi tantangan kaum musyrik Mekkah dengan kesungguhan, perjuangan, pengorbanan dan kesabaran, bukan dengan jalan perang memanggul senjata atau menghunus pedang. Maka, jihad dalam pengertian ini adalah kesungguhan diri untuk mencapai sesuatu yang diinginkan sebagaimana firman-Nya.
“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS. Al-Ankabut : 6).
Dalam periode itu, anjuran jihad lebih berdimensi dorongan moral-etik, dalam konteks bersungguh-sungguh, memaksakan kemampuan jiwa raga untuk mencapai apa yang diinginkan, bukan bersifat politis-taktis-peperangan.
Sementara itu, dalam periode Madinah, jihad berdimensi “alqitaal” atau “perang” , itupun hanya berlaku dalam situasi perang yang secara head to head untuk mempertahankan hak dan kebenaran (keyakinan) masing-masing, bukan dalam konteks “al-qatl” yang berarti membunuh secara sporadis dan serampangan.
Ketika itu, Nabi Muhammad SAW. menghadapi tantangan orang-orang kafir-munafik di Madinah sebagaimana firman-Nya. “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS.Attaubah : 73). Mengapa ayat-ayat jihad kemudian dijadikan dalil syari´ oleh sebagian kelompok Islam untuk melawan kelompok lain yang berbeda keyakinan?
Kelompok yang mengatasnamakan dirinya “jihadis”, yaitu kelompok yang menghalalkan segala cara untuk menghabisi lawan yang tidak seiman dengan cara teror kerap menafsirkan ayat-ayat jihad yang lain secara rigid dan kaku misalnya ; QS.Al-Baqarah : 216 tentang kewajiban beperang, QS. Al-Anfal : 15, tentang memerangi orang kafir dan QS.At-Taubah : 123.
Padahal, terdapat banyak ayat Al-Qurán lainnya yang menganjurkan umat Islam tidak memaksakan agamanya kepada orang lain seperti dalam (QS. Al Baqarah: 256). Di samping ayat-ayat bernuansa jihad yang justru menganjurkan umat Islam berbuat baik kepada orang lain, termasuk kedua orang tua yang memaksa untuk mengikuti keyakinan mereka – menyekutukan Allah seperti dalam nasihat Luqman.
“Dan, jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Hanya kepada-Kulah kamu kembali…(QS.Luqman : 15)…
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8).
Berdasarkan ayat ini, jika mereka, yakni non muslim tidak mengganggu keamanan dan ketenteraman, tidak menzalimi dan melakukan penganiayaan, tidak mengacaukan keamanan dan tidak memaksa orang-orang untuk meninggalkan agamanya dan mengamalkannya serta tidak mengusir kaum muslimin dari negeri mereka, maka kita boleh berbuat baik dan bersikap adil kepada mereka.
Bukan Monopoli Islam
Makna dan konsepsi jihad sebagaimana tertuang dalam Al-qurán sama sekali bertolak belakang dengan aksi terorisme yang secara serampangan menyerang orang-orang yang tidak berdosa.
Fundamentalisme, Radikalisme dan bahkan terorisme bukanlah monopoli Islam, tetapi juga terjadi di lingkungan penganut agama Yahudi dan Kristen. Hanya saja porsi pemberitaan media tentang radikalisme dan terorisme lebih banyak pada kasus-kasus yang diduga dilakukan kelompok Islam, lebih-lebih lagi pasca serangan teror 11 September 2001.
Serangan teror yang dilakukan perseorangan (non muslim) tampaknya terhindar dari ekspos pemberitaan sebagai aksi “terorisme”, bahkan seolah tabu diungkap sebagai pelaku teror walaupun telah menelan puluhan korban.
Saat peristiwa peledakan bom di kota Oslo dan pembantaian di pulau Oetoya, 22 Juli 2011 lalu, umat muslim di negara itu terpojokkan dengan adanya pemberitaan prejudis salah satu media Barat bahwa pelakunya adalah jaringan kelompok Jihadis muslim. Beberapa jam kemudian, Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg mengeluarkan pernyataan pers secara bijak bahwa pelakunya belum bisa diungkap ke publik sebelum ada penyelidikan.
Beberapa jam kemudian, terungkap bahwa pelakunya adalah Anders Behring Breivik, seorang penganut Kristen yang pernah berafiliasi sebagai anggota partai Progress Norwegia yang berhaluan kanan.
Aksi teror yang dilakukan Breivik dan menewaskan 67 orang itu tidak diekspos secara massif dalam pemberitaan media Barat sebagai aksi seorang “terrorist”, tetapi lebih banyak disebut “killer” karena perbuatannya perlu dibukikan terlebih dahulu di pengadilan. Hal itu bisa berbeda jika dilakukan oleh seoran/kelompok muslim.
Kecepatan media memberikan statment tentang pelaku teror sebelum investigasi, selanjutnya melahirkan stigma bahwa pelakunya adalah kelompok jihadis Islam, seolah radikalisme dan terorisme hanya lahir dari rahim Islam. Padahal, fundamentaslisme, radikalisme, dan bahkan terorisme tidak hanya “berbaju” Islam, tetapi juga mungkin “berbaju” Yahudi, Kristen dan lainny seperti aksi teror yang dilakukan kelompok Sekte Aum Shinrikyo di Tokyo, Jepang 1994 silam yang menewaskan puluhan orang. Dalam konteks ini, maka ada pemahaman sosiologis bahwa terorisme tidak terkait agama, suku dan etnis tertentu. Lalu bagaimana menghindari pemahaman yang keliru tentang jihad dan terorisme?
Memahami Perbedaan
Agama sebagai suatu sumber keyakinan memang menjadi jatidiri seseorang, sehingga setiap orang berusaha untuk mempertahankan apa yang diyakininya benar. Namun, demikian dalam hal ini, Allah SWT. memberikan batasan-batasan yang jelas dan tegas agar setiap pemeluk agama, khususnya Islam tidak terjebak dengan sikap-sikap yang kaku bahwa Allah memberikan kebebasan kepada seseorang untuk memeluk agama dan keyakinannya sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 256 )
“Tidak ada paksaan dalam beragama Islam. Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut (tuhan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, lagi maha mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 256).
Kebebasan untuk memilih agama dalam ayat ini mengandung maksud, bahwa memeluk agama Islam tidak menghendaki adanya paksaan, melainkan melalui kesadaran dan keinginan pribadi yang bersangkutan. Bagi mereka yang berkenan, dipersilahkan, bagi yang tidak, adalah hak mereka sendiri untuk menolak dengan sepenuh hati.
Sikap toleran dan saling memahami seperti ini sudah dijalankan sebagai praktik keagamaan ketika Rasulullah SAW berada di Madinah, sehingga dikenal kemudian dengan Piagam Madinah.
Islam menganjurkan umatnya untuk bertoleransi dan saling memahami antar pemeluk agama lain,. Setiap muslim hendaknya menyadari, bahwa Islam memerintahkan kepada umatnya untuk saling tenggang rasa dan toleransi dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing.Allah Swt sengaja menciptakan manusia dari berbagai bangsa dan suku hanya untuk menguji, mampukah manusia untuk hidup rukun dan damai penuh kasih sayang di dalam mencari kebenaran.
Yang penting adalah bagaimana masing-masing umat manusia mampu mengejawantahkan sikap toleran, saling memahami dan saling pengertian baik dalam kata, sikap dan tindakan. Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama, tentu terdapat perbedaan, tetapi apakah perbedaan itu layak dijadikan alasan untuk saling bertikai apalagi saling memusnahkan?
Di sinilah, diperlukan pemahaman yang dalam dan kesadaran yang tinggi untuk saling memahami perbedaan itu sendiri agar setiap manusia saling kenal satu sama lain, karena demikian akan mewujudkan tali kasih yang sangat kokoh.
“Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian”. (QS. Al Hujurat: 13).
Ayat ini, memberi penegasan bahwa perbedaan suku bangsa, bahkan agama bukan menjadi penghalang bagi umat manusia untuk merajut tali hubungan persaudaraan antar sesama manusia.
Di sinilah, Islam memperkenalkan konsep “Tasaamuh” (toleransi) dan saling memahami dalam konteks perbedaan.
Semakin seseorang memahami perbedaan, akan semakin merasakan bahwa “aku” dan “aku” yang lain pada hakekatnya saling membutuhkan dan perlu bekerjasama.
Salah satu fenomena sosial yang sering heboh dan menghebohkan adalah adanya sekelompok umat yang aktif mengkafirkan kelompok lainnya. Mereka memandang bahwa orang-orang yang ada di luar kelompoknya, sebagai kafir, murtad, atau keluar dari Islam.
Setiap kali berbeda pendapat dengan orang lain, mereka dengan mudah menyerang lawan bicaranya itu dengan julukan kafir. Seolah-olah hanya dirinya yang berhak hidup di dunia ini, sedangkan orang lain tidak. Persoalannya sesungguhnya cukup sederhana, yaitu karena tidak ada sikap toleran dan saling memahami satu sama lain.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)
Berdasarkan ayat ini, jika mereka, yakni non muslim tidak mengganggu keamanan dan ketenteraman, tidak menzalimi dan melakukan penganiayaan, tidak mengacaukan keamanan dan tidak memaksa orang-orang meninggalkan agamanya dan mengamalkannya serta tidak mengusir kaum muslimin dari negeri mereka, maka kita boleh berbuat baik dan bersikap adil kepada mereka.
***
Apa yang terjadi saat ini, terlebih dengan maraknya aksi-aksi teror menjadi tanggung jawab bersama umat manusia-dunia Islam dan Barat untuk saling memahami dan menghormati satu sama lain. Umat Islam (dunia Islam) perlu melakukan koreksi agar tidak terperangkap pada jargon-jargon radikalisme dengan bahasa jihad. Sementara dunia Barat juga perlu memahami secara bijaksana bahwa Islam sebagai agama tidak ada kaitannya dengan terorisme.
*) Alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura/Alumni Pascasarjana Peradaban Islam/Pemikiran Politik Islam Universite Ezzitouna, Tunisia
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.