Membaca Kembali Relasi PKB-PBNU

2

Fathurrahman Yahya*

Senin, 13 Februari 2023 07:19 WIB, Satelitnews.com, Rubrik Headline, Kolom

MENCERMATI sejumlah pemberitaan media, dalam rangkaian acara puncak peringatan satu Abad NU yang digelar di Sidoarjo, 7 Februari 2023, tidak terlihat kader-kader NU dari elit Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hadir, termasuk ketua Umum PKB, Gus Muhaimin Iskandar. Dari sini kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan spekulatif seputar hubungan PBNU-PKB ke depan. Bagaimana relasi antara PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya Cholil Staquf dengan PKB di bawah kepemimpinan Gus Muhaimin Iskandar? Lalu, Bagaimana implikasi (politis) rigiditas hubungan kedua elit – tokoh NU tersebut terhadap perolehan suara PKB pada pemilu 2024?

Awal Perseteruan
Setelah diumumkan sebagai Ketua PBNU terpilih periode 2022-2027, Gus Yahya menyatakan akan “menghidupkan Gus Dur”. Pernyataan tersebut memiliki makna ideologis dan politis sekaligus bahwa pada satu sisi, di bawah kepemimpinannya, NU akan mengejawantahkan pemikiran, ideologi dan sikap politik Gus Dur yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme, pluralisme dan demokrasi. Namun, pada sisi lain, pernyataan tersebut seolah ingin menegaskan bahwa nama Gus Dur sebagai salah satu tokoh pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tereleminasi oleh kepengurusan PKB Muhaimin Iskandar akan dipulihkan. Poin ini bisa dibaca sebagai sinyal “babak baru” relasi PKB-PBNU.

Sikap a-politis Ketum PBNU dalam relasinya dengan PKB semakin jelas terdeteksi ketika nama-nama pengurus PBNU periode 2022-2007 diumumkan. Tidak ada kader atau pengurus struktural PKB dalam kepengurusan PBNU, padahal tidak sedikit politisi (kader NU) dari partai-partai lain yang terakomodasi sebagai pengurus struktural PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya.

Sinyal perseteruan semakin menguat ketika Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar tidak tampak hadir dalam pengukuhan pengurus PBNU di Balikpapan 31 Januari 2022 yang lalu.

Strukur kepengurusan jumbo PBNU yang mereprsentasikan cakupan luas wilayah (NU) maupun kader NU di sejumlah partai politik, memperlihatkan bahwa posisi dan tanggung jawab NU semakin besar. Tetapi dalam perspektif politik, hadirnya sejumlah kader NU dari partai-partai politik maenstrem dalam elit struktural kepengurusan PBNU, minus PKB, bisa memperlebar jarak (politis) antara PBNU-PKB. Nah, Jika sinyal perseteruan politis antara Ketum PBNU dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar menguat, bagaimana implikasinya terhadap perolehan suara PKB dari kalangan Nahdliyyin yang selama ini terkooptasi ke dalam PKB – Muhaimin Iskandar?

Suara politik Nahdliyyin yang pada pemilu 2014 dan 2019 banyak terkooptasi ke dalam PKB, pada pemilu 2024 diprediksi akan mengalami pergeseran. Selama dua periode tersebut, disadari atau tidak, dukungan emosional Nahdliyyin terhadap PKB ditopang oleh dukungan institusional PBNU di bawah kepemimpinan KH. Said Aqil Sirodj (2010- 2015 dan 2015-2020).

Pada era tersebut, PKB-PBNU tampak seperti menara kembar yang saling terhubung. Bahkan, politik praktis, terutama saat pencalonan Wakil Presiden (KH. Ma´ruf Amin) untuk mendampingi Joko Widodo pada Pemilu Presiden 2019, secara terang-terangan digerakkan oleh lobi-lobi politik Gus Muhaimin dan elit struktural di PBNU.

Kedekatan PBNU dengan politik praktis saat itu menjadi sorotan. Maka, PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya sepertinya ingin menjaga jarak dan hendak kembali kepada semangat Khittah 1926. Hanya saja, semangat ini masih perlu diuji dalam beberapa tahun ke depan, mengingat keberadaan politisi aktif (kader NU) dari sejumlah partai politik dalam struktur kepengurusan PBNU saat ini, akan berusaha untuk mempengaruhi suara politik Nahdliyyin di tingkat arus bawah untuk kepentingan partainya masing-masing. Artinya, tarik menarik kepentingan politik antar politisi kader (NU) yang berbeda partai di dalam PBNU itu sendiri tidak bisa dihindari. Di sini, politik praktis juga – mungkin-tidak terelakkan.
 
Perlu Rekonsiliasi
Dalam kondisi seperti ini, secara psikologis yang dirugikan adalah PKB besutan Gus Muhaimin Iskandar, karena bagaimanapun sikap apatis Ketua Umum PBNU terhadap PKB Gus Muhaimin, akan mempengaruhi ikatan emosiaonal Nahdliyin. Dalam batas-batas tertentu, posisi PKB saat ini seolah di down grade PBNU, yang sebelumnya memiliki “privilege” mengkooptasi suara politik Nahdliyyin melalui dukungan implisit PBNU. Artinya, kemesraan yang terjalin antara PKB dengan PBNU seperti masa kepemimpinan KH. Said Aqil Siroj sudah berakhir.

Gus Muhaimin tentu memahami posisi hubungan PKB dengan PBNU ke depan. Maka, politisi yang disebut Buya Syafii Maarif sebagai The real Politician (2018), tidak kalah langkah. Ia mulai gencar melakukan manuver politik – membranding – PKB – agar tetap menjadi rumah politik primadona bagi Nahdliyyin, walaupun tanpa legitimasi “dukungan” PBNU.

Gerakan Nahdliyyin Bersatu (GNB) dan gerakan dukung Gus Muhaimin Calon Presiden 2024 terus bergema di mana-mana. Lebih dari itu, dalam peringatan satu abad NU, PKB menyelenggarakan Forum Ijtima´ Ulama Nusantara di berbagai tempat mengakamodir politik para kiai dan nyai untuk membesarkan PKB. Nah, manuver ini setidaknya akan memberi marketing effect bagi PKB bahwa tanpa dukungan politik Ketua Umum PBNU-pun (baca : Gus Yahya Staquf), PKB masih bisa diterima pasar, utamanya kalangan Nahdliyyin di tingkat akar rumput.

Indikator keberhasilan manuver politik Gus Muhaimin dalam membranding PKB di tengah relasinya yang kurang baik dengan Ketua Umum PBNU dapat dilihat dari hasil sejumlah lembaga survie. Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang Kompas : 17-30/1/2022) misalnya merilis bahwa loyalitas pemilih PKB mencapai 78,4 %. Selanjutnya, Charta Politika (25/4/2022) juga merilis tingkat kepuasan pemilih terhadap elektalibitas partai politik. Hasilnya, PDIP mendapat 24,7 %, Gerindra 11,9 %, kemudian disusul PKB 9,8 %, menyalip Golkar yang berada di posisi keempat dengan angka 9,2%.

Dengan angka-angka tersebut semakin meyakinkan Gus Muhaimin Iskandar bahwa PKB tanpa dukungan PBNU masih bisa survive, sehingga ia berani mengklaim bahwa tanpa pengaruh ketua Umum PBNU-pun pemilih PKB solid.

Sejatinya, PKB-PBNU segera mencari jalan rekonsiliasi sebelum perseteruan di antara keluarga besar (PKB dan PBNU), terutama dari kerabat “Bani Hasyim” itu semakin meruncing. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah lahir dari rahim PBNU (1998) yang diinisiasi dan dideklarasikan tokoh-tokoh NU semisal ; KH. Ilyas Ruchiyat, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Mostofa Bisri, dll. sebagai rumah politk kaum Nahdliyyin. Kini, rumah politik Nahdliyyin itu sudah besar, sehingga perlu dirawat bersama-sama agar tidak lekang dan tetap nyaman untuk menjadi tempat perjuangan politik dan ideologi – kebangsaan dan kemanusiaan – dalam rangka menjaga NKRI sebagaimana dicita-citakan para tokoh NU.

Perjuangan untuk membesarkan pemikiran dan ideologi tokoh-tokoh NU, termasuk pemikiran Gus Dur, bisa melalui jalur kultural atau struktural, atau keduanya sekaligus. Mamang, NU tidak berpolitik praktis, tetapi Nahdliyyin perlu memiliki rumah politik (sendiri) agar lebih leluasa mengejawantahkan cita-cita politik tokoh-tokoh NU itu sendiri. Saatnya PKB-PBNU bersilaturrahmi, membangun relasi yang lebih baik untuk bersinergi. Wallahu A´lam. (*)
 
*(Peneliti dan Editor, Alumnus Pascasarjana Pemikiran Politik Islam Universite Ezzitouna, Tunisia/Mahasiswa Doktoral Komunikasi Politik dan Diplomasi Sekolah Pascasarjana, Universitas Sahid Jakarta)

sumber : satelitnews.com

2 thoughts on “Membaca Kembali Relasi PKB-PBNU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Mengapa ASEAN "Masih" Penting?

Wed Feb 15 , 2023
Share on Facebook […]