Ramadan, Mudik dan Kapitalisasi Desa

Fathurrahman Yahya, Editor

ilustrasi mudik lebaran
Ramadan’s Ramadan sebagai bulan suci bagi umat muslim karena disyariatkannya puasa dan diturunkannya Al-Qur’an sungguh istimewa dan membawa berkah bagi alam semesta. Begitu istimewanya, setiap orang berlomba-berlomba memanfaatkan bulan Ramadan untuk meraih keuntungan : duniawi dan ukhrawi. ‘’Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka ganjaran-upahnya- akan dilipat gandakan.
Dimensi Spiritual dan Sosial
Di bulan ini, doa-doa akan dikabulkan, dosa-dosa masa lalu akan diampuni. Bukan hanya itu, keuntungan hasil jual beli pun berlipat ganda. Apakah keberkahan bulan Ramadan hanya dirasakan umat muslim? Apakah bulan Ramadan hanya dirasakan masyarakat perkotaan yang bisa hidup dalam kecukupan ? Tentu tidak…
Secara spritual, berkah puasa Ramadan hanya milik dan dinikmati umat muslim, karena disyariatkan khusus bagi mereka, tetapi secara sosial, keberkahan Ramadan dapat dinikmati seluruh umat manusia, termasuk non muslim sekalipun.
Coba renungkan…Berapa banyak produsen dari kalangan non muslim yang ikut memperjual belikan produk-produk makanan dan lainnya di bulan Ramadan? Berapa banyak keuntungan yang mereka dapatkan dari hasil jual beli saat bulan Ramadan? Ini artinya, seluruh umat manusia, termasuk non muslim ikut merasakan keberkahan Ramadan, dari awal hingga akhir bulan.
Selama Ramadan, umat muslim fokus beribadah, ditempa dengan nilai-nilai kejujuran, disiplin dan komitmen terhadap waktu serta membangun solidaritas antar sesama. Selama bulan Ramadan, kehidupan sosial-ekonomi ikut bergeliat membawa pertumbuhan seiring peningkatan komsumsi dan pergerakan orang. Di sini, terdapat keuntungan spiritual dan sosial yang didambakan setiap muslim.
Menjelang akhir Ramadan, umat Islam di seantero negeri, biasanya melakukan perjalanan ke kampung halaman, umumnya dari ibukota (pusat maupun provinsi), ke desa. Apa makna dibalik tradisi mudik tersebut bagi penguatan tatanan sosial dan ekonomi masyarakat?
Mendorong Aliran Modal ke Desa
Pulang ke kampung halaman-desa-atau yang lebih pouler dengan sebutan mudik, sudah menjadi tradisi dan budaya masyarakat Indonesia di seantero negeri.
Dalam setiap Hari-Hari Besar Keagamaan, khususnya menjelang Idul Fitri, umat muslim antusias kembali ke kampung halaman, bahkan rela antre berjam-jam akibat kemacetan di jalan raya hanya untuk bertemu keluarga dan sanak famili.
Melihat fenomena mudik, tentu banyak makna yang perlu dicermati, tidak saja dari aspek psikologis, tetapi juga sosiologis bahwa mudik bukan hanya sebagai reuni keluarga melepas kerinduan warga kota terhadap keluarga di desa. Tetapi, lebih dari itu sebagai transformasi budaya kota ke desa, sehingga modernitas yang biasa menjadi ciri khas kota atau ibu kota dapat mengalir ke desa.
Modal (capital) yang biasanya hanya berputar di kota atau ibu kota (capital) akan mengalir ke desa. Dampaknya, tentu perekonomian di desa akan ikut tumbuh bergeliat seiring domisili “singkat” para pemudik di kampung halaman karena faktor kebutuhan konsumsi yang juga meningkat. Di sini, keistimewaan Ramadan dan tradisi Mudik menemukan makna dan urgensinya.
Di sadari atau tidak, meningkatnya pertumbuhan serta menguatnya sendi-sendi perekonomian masyarakat di desa, ditopang oleh distribusi modal dari ibu kota serta pemerataan kekayaan masyarakat kota. Dengan demikian, dapat membantu daya tahan perekonomian masyarakat dari krisis yang kerap menyerang sistem keuangan dan perekonomian di kota atau ibu kota yang dikelola segelintir orang-pemilik modal (baca kapitalis). Sejatinya, Ramadan dan tradisi mudik akan mempersempit jarak dua sistem ekonomi ‘’sosialisme dan kapitalisme’’ yang kerap diperdebatkan. Bagaimana penjelasannya?
Pada saat krisis ekonomi 2008 mengguncang negara-negara kapitalis, utamanya Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, kapitalisme kembali diperbincangkan.
Seorang layouter (baca : penata naskah/teks) bertanya tentang dampak negatif kapitalisme dalam tata kelola perekonomian dan pembangunan di suatu negara. Melalui pendekatan analogi linguistik, secara spontan penulis memberi penjelasan sebagai berikut.
“Coba perhatikan ketika Anda hanya menebalkan (bold) huruf atau kata tertentu dalam sebuah judul atau sub judul yang sedang anda susun, apa yang akan terjadi? Pada saat itu, sejumlah kata atau kalimat akan menyebar, bahkan tersisih dan terpinggirkan hingga ke margin paling akhir.
Setelah memberi penjelasan di atas, penulis coba mencari padanan kata “capital” dalam beberapa literatur bahasa sebagai upaya legitimasi terhadap apa yang saya jelaskan misalnya; Oxford Advanced Learner’s Dictionary (encyclopedic edition) dan Kamus Inggris-Indonesia karya John M.Echols dan Hassan Shadily.
Dari dua literatur bahasa tersebut didapat bahwa “capital” setidaknya memiliki tiga makna yaitu; modal, ibu kota, dan besar (huruf). Kata “capital” kemudian di-Indonesiakan menjadi “kapital”, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua makna yaitu ; (1) Modal pokok dalam perniagaan dan (2) Besar, (tentang huruf).
Dari pemahaman semantik ini, terlihat adanya makna dialogis dan dialektis antara “modal” dan ”ibu kota”, dengan marginalisasi desa. Modal (capital) menjadi salah satu kunci dalam proses peralihan sebuah desa menjadi kota. Tetapi, modal yang hanya terfokus di kota atau ibu kota (capital) bisa menyebabkan marginalisasi desa dan masyarakat pedesaan. Mengapa kapitalisme yang menjadi tren-model tata kelola perekonomian dunia kerap menuai kritik?
Jauh sebelum krisis ekonomi melanda negara-negara kapitalis 2008 silam itu, Karl Marx (1818 –1883) sangat kritis terhadap sistem “capital-ism” yang disebutnya sebagai “kediktatoran kaum borjuis” (dictatorship of the bourgeoisie)”. Dalam “capital-ism” akan terjadi privatisasi, sehingga penguasa (negara) sang pemilik modal (capital holder) sesungguhnya, hanya berperan sebagai pembuat lisensi, tetapi tidak kuasa untuk melakukan proteksi. Penguasa yang memiliki segala perangkat, tidak berkutik di bawah kemauan pemilik modal, bahkan kerap ikut berperan melakukan penindasan terhadap masyarakat kelas bawah yang hanya memiliki sedikit modal.
Maka, mudik memberi pembelajaran tentang keberlangsungan sosial budaya dan ekonomi secara alamiah sebagai mekanisme pemerataan ekonomi dan pembangunan. Kapitalisai desa penting untuk menjadi perhatian penguasa-pemerintah melalui aliran modal hingga ke pelosok desa, agar pembangunan tidak hanya bertumpu di ibu kota atau kota-kota besar.
Dengan massifnya pergerakan orang ssat mudik, setidaknya menjadi peluang bagi pemangku kepentingan di setiap desa-kecamatan-kabupaten (pemerintah) untuk memanfaatkan kedatangan kaum urban yang sedang mudik ke desa sebagai (‘’pemilik modal’’ ) bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan desa. Selain itu, mereka dapat dijadikan marketer bagi keunggulan kampung halam untuk di ‘’jual’’ atau ‘’dipromosikan’’ di tempat mereka bekerja, baik berupa produk-produk UMKM-pertanian, pariwisata, dll. Sudah siapkah pemerintah kota-kabupaten memanfaatkan kesempatan mudik ini ?