
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menghadiri Perayaan 80 Tahun Kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok yang digelar di Tian’anmen, Beijing, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada Rabu, 3 September 2025. Foto: BPMI Setpres/Photo Pool China Victory Day
Penulis : Fathurrahman Yahya, *)
Presiden Prabowo Subianto melantik pejabat baru di Istana Negara, (8/10/2025), termasuk pelantikan 10 Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) serta 1 wakil Duta Besar untuk KBRI Beijing yaitu politikus Partai Gerindra, Irene.
Pelantikan Wakil Duta Besar oleh seorang Presiden memunculkan tanda tanya publik, karena dinilai tidak biasa dan wakil Duta Besar di KBRI Beijing saat ini sudah ada. Namun, Menteri Luar Negeri Sugiono merespons cepat hal tersebut dan menyampaikan alasan bahwa Presiden Prabowo Subianto menempatkan wakil Duta Besar Indonesia untuk China, karena China merupakan negara besar dan banyak beban pekerjaan, sehingga pemerintah merasa perlu penguatan tambahan, dilansir media (8/10/2025).
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, hubungan Indonesia-China memang tampak memperlihatkan sesuatu yang sangat ‘’romantis’’. Rangkaian agenda-agenda bilateral kedua negara dapat terbaca sangat istimewa, lebih-lebih setelah Prabowo Subianto dilantik menjadi Presiden RI, 20 Oktober 2024 lalu.
Mengapa Istimewa?
Menarik perhatian dan menjadi sorotan banyak kalangan, ketika Presiden Prabowo Subianto berkunjung ke Beijing mengikuti acara parade militer Peringataan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II yang diselenggarakan di Tiananmen Square, Beijing(3/9/2025).
Selain karena kehadirannya yang mendadak ditengah situasi sosial politik dalam negeri yang belum stabil saat itu, Presiden Prabowo Subianto diposisikan dalam barisan terdepan bersama Presiden Rusia, Vladimir Putin, Presiden Xi Jinping dan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Ini bisa dibaca bahwa Prabowo memiliki nilai plus dan Indonesia merupakan mitra istimewa China dan negara-negara berpengaruh lainnya.
Menurut laporan koran South China Morning Post (3/9/2025). Lebih dari 25 pemimpin negara asing – termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, termasuk Presiden Prabowo Subianto – bergabung dengan Presiden Xi Jinping di acara parade tersebut yang ditandai dengan ekspose kecanggihan persenjataan mutakhir militer China yang bermanuver epik.
Kurang dari sepuluh bulan sejak pelantikannya sebagai Presiden, Prabowo Subianto sudah dua kali berkunjung ke China bertemu Presiden Xi Jinping yaitu (8-10/11/2024) dan (2-3/9/2025). Bahkan, sebelum pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum tentang pemenang Pilpres 2024, Presiden Xi Jinping secara khusus mengundang Prabowo Subianto ke Beijing (1/4/2024), sebagai Presiden terpilih (elected president) bukan sebagai menteri pertahanan, sehingga pertemuan Prabowo dengan Presiden Xi Jinping saat itu dalam posisi ‘’istimewa’’ layaknya seorang Presiden negara sahabat yang sangat berpengaruh.
Pada kunjungan luar negeri perdananya, Presiden Prabowo Subianto ke Beijing, China (8-10/11/2024) pun istimewa. Selain melakukan pertemuan bilateral dengan Ketua Kongres Rakyat Nasional (National People’s Congress) China, Zhao Leji, Perdana Menteri China, Li Qiang, Presiden Prabowo bertemu Presiden Xi Jinping dengan sambutan protokoler militer dan hamparan karpet merah yang istimewa.
Sambutan hangat Presiden Xi Jinping di Great Hall, saat itu menjadi sketsa potret hubungan bilateral kedua negara : Indonesia-China. Mengapa China menjadi perioritas kunjungan kenegaraan Prabowo Subianto dan mengapa China menyambut kunjungan Presiden Prabowo sangat Istimewa?
Bagi China, Presiden Prabowo Subianto tentu ‘’istimewa’’ karena China dijadikan negara pertama yang disinggahinya dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke luar negeri sejak dilantik (20/10/2024). Sebaliknya, bagi Prabowo Subianto, China juga ‘’istimewa’’, karena Presiden Xi Jinping secara khusus mengutus wakilnya, Han Zheng pada hari pelantikannya (20/10/2024), sebagai bentuk penghormatan kepadanya.
Pertemuan bilateral Presiden Prabowo dengan Presiden Xi Jinping (3/9/2025) semakin memperlihatkan sinyal diplomatik betapa penting dan strategisnya hubungan kemitraan antara Indonesia dan China.
Jamak diketahui, selama hampir lebih dari dua dekade, negeri Tirai Bambu telah melakukan lompatan besar dalam berinvestasi di Indonesia. Negeri yang berpenduduk lebih dari 1,4 Miliar jiwa itu menempati urutan kedua sebagai negara investor – Foreign Direct Investment- di Indonesia yang pada tahun 2013 hanya berada di urusan 12. Lalu apa yang bisa kita baca dari hubungan Istimewa tersebut?
Merajut Romantisme
Indonesia – China sudah memiliki hubungan diplomatik sejak tahun 1950, lalu dibekukan pada tahun 1967 karena situasi politik dalam negeri. Tetapi, dinamika geopolitik mengubah sikap dan kebijakan politik luar negeri Presiden Soeharto-Era Orde Baru, sehingga kebekuan hubungan diplomatik kedua negara mencair kembali, tepatnya tahun 1990- an.
Era reformasi yang menghadirkan nuansa demokrastisasi di Indonesia setelah tahun 1998, setidaknya memberikan kontribusi untuk perbaikan hubungan Indonesia dengan China. Sekat-sekat dan hambatan ideologis serta sosio kultural yang sebelumnya tabu untuk dibicarakan di ruang publik (public sphere) tampak mulai sirna sejak era Presiden Abdurrahman Wahid.
Sejak pergantian kepemimpinan Indonesia mulai era Abdurrahman Wahid hingga Joko Widodo, volume kunjungan para petinggi Indonesia ke Bejing sangat intens. Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo kerap kali melakukan kunjungan ke Beijin, sehingga ditafsir sebagai kunjungan persemaian “romantisme” antara Jakarta-Beijing.
Dalam fase ini, kunjugan Presiden Indonesia ke China seperti menjadi rutinitas dan keniscayaan sebagai suatu sinyalemen protokol persahabatan kedua negara yang menujukkan pentingnya hubungan bilateral antara Indonesia dengan China. Keduanya memiliki pengaruh politik dan ekonomi yang semakin penting dan diperhitungkan sebagai pemain utama di tingkat regional maupun global.
Momentum kerja sama antara Indonesia dan China semakin meningkat selama masa pemerintahan Bambang Susilo Yudhoyono (2004–2014) dengan penandatanganan komitmen “Kemitraan Strategis” pada tahun 2005, yang kemudian ditingkatkan menjadi “Kemitraan Strategis Komprehensif” pada tahun 2013.
Hubungan bilateral antara Indonesia dan China telah berjalan dengan baik. Keadaan hubungan antara Jakarta-Beijing saat ini mengingatkan kita pada ‘’romantisme’’ hubungan bilateral yang erat selama masa pemerintahan Presiden Sukarno hingga kejatuhannya pada tahun 1967.
Bagi China, menjaga romantisme yang sudah terjalin dengan Indonesia sangat penting. Demikian pula bagi Indonesia bahwa China adalah sahabat lama sejak masa Sukarno, sehingga upaya Presiden Prabowo untuk mempertahankan dan menguatkan kembali hubungan diplomatik Indonesia dengan negeri Tirai Bambu saat ini memiliki urgensinya.
*) Dosen Wawasan Politik Islam dan Timur Tengah Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal, Peneliti Program Doktoral Komunikasi Politik dan Diplomasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta

