Oleh : Muhammad Akram J.Said, Mahasiswa S-2 Universitas PTIQ dan Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal, Jakarta
Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (30/10/2025) telah mengabulkan gugatan sejumlah pihak ; Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan Titi Anggraini terkait keterwakilan perempuan dengan putusan Nomor 169/PUU-XXII/2024, bahwa setiap alat kelengkapan dewan (AKD) mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), hingga Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) harus memenuhi representasi perempuan.
Putusan uni mempertegas Undang-Undang Pemilu sebelumnya tentang kuota 30% perempuan di Parlemen. Artinya, ruang publik, khususnya ranah politik semakin terbuka lebar bagi kaum perempuan, termasuk kaum perempuan muslim yang selama ini seperti terkungkung oleh budaya patriarki yang diskriminatif. Bagaimana Islam memandang partisipasi kaum perempuan dalam ranah publik?
Menghargai martabat perempuan
Putusan MK tersebut meniscayakan martabat seorang perempuan bahwa sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tanggung jawab publik bagi perempuan merupakan hak asasi yang bersifat inheren dan tidak terpisahkan. Hal ini merupakan landasan krusial untuk memastikan perempuan diposisikan sebagai individu yang mulia dan bermartabat.
Meskipun ada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki yang membedakan peran dan fungsi tertentu, mereka tetap memiliki kesamaan substansial sebagai hamba Tuhan dan warga negara, sehingga perbedaan ini tidak boleh diinterpretasikan sebagai legitimasi untuk marginalisasi atau diskriminasi.
Secara teologis, Islam menempatkan laki-laki dan perempuan ini setara sebagai makhluk Tuhan dengan tugas dan tanggung jawab yang sama melaksanakan ‘’amar ma’ruf nahi munkar ‘’sebagai ditegaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 124 dan Q.S At-Taubah : 71
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagaimana mereka menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar…”. Artinya laki-laki dan perempuan sama-sama memikul tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi. Mereka memiliki wewenang yang sama menjalankan fungsi kekhalifahan – memakmurkan dunia dan memimpin sesuai dengan potensi dan peran masing-masing.
Dalam ranah politik, Islam secara tegas mengakui perempuan sebagai bagian dari ummah (masyarakat) yang memiliki tanggung jawab kolektif untuk berpartisipasi dan meningkatkan kesadaran politik di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, perempuan memiliki martabat dan hak asasi yang melekat sebagai ciptaan tuhan, sehingga perbedaan biologis tidak boleh dijadikan dasar untuk diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Dalam politik, Islam mewajibkan dan mengakui perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang setara untuk berpartisipasi dan meningkatkan kesadaran politik di tengah-tengah masyarakat.
Seiring dengan perkembangan era digital, terjadi pergeseran peran besar di kalangan perempuan. Kini, ranah perempuan tidak lagi terbatas pada urusan domestik, melainkan meluas ke ranah publik. Terbukti dari makin banyaknya perempuan yang memilih untuk berkarier di luar rumah, termasuk di jalur-jalur formal institusional baik ekskutif, yudikatif dan legislatif.
Martabat perempuan sebagai mukallaf di hadapan Tuhan memastikan bahwa perbedaan biologis bukan sebagai batas diskriminasi, melainkan keduanya merupakan penyeimbang dalam konteks kesetaraan untuk amar ma’ruf nahi munkar di masyarakat.
Justifikasi Partisipatif
Secara teoritis, ulama moderat seperti Yusuf al-Qardhawi menjustifikasi partisipasi (politik) kaum perempuan. Bahkan kaum perempuan bisa menempati posisi kepemimpinan-termasuk jabatan kolektif modern seperti dewan dan presiden-, karena tuntutan sosial membutuhkan.
Secara praktis, peran ganda perempuan di ranah sosial melalui jaringan majelis taklim, dakwah, dan filantropi justru menjadi kekuatan politik Islam yang sesungguhnya, membangun modal sosial dan basis massa akar rumput (grassroots) yang esensial. Hal ini membuktikan bahwa partisipasi politik kaum perempuan, khususnya perempuan muslim termasuk manifestasi kolektif dari kewajiban beragama.
Meskipun terbebani oleh double burden di ranah domestik, perempuan muslim kini secara eksplisit melangkah semakin maju dari ranah private hingga ranah publik dan arena politik formal sebagai agen perubahan dan pembuat kebijakan.
Pergeseran ini dimediasi oleh regulasi seperti kuota keterwakilan perempuan (misalnya 30% di Indonesia) yang mendorong partai-partai politik, termasuk partai-partai berbasis massa Islam untuk merekrut dan memajukan kader perempuan sebagai penegasan partisipatoris kaum perempuan, sekaligus mengubah citra partai menjadi lebih inklusif dan terbuka.
Partisipasi kaum perempuan di parlemen, tentu akan memberikan kontribusi kebijakan yang khas bagi mereka, yaitu penebitan legislasi yang lebih bemuatan isu-isu substantif kaum perempuan seperti ; legislasi tentang perlindungan Keluarga dan Anak, penguatan agenda anti-korupsi serta hak-hak kaum perempuan lainnya, sehingga legislasi yang dibuat kaum perempuan di Parlemen benar-benar berpihak kepada kaum perempuan.
Namun demikian, adanya putusan MK ini dan regulasi kuota 30 %, menimbulkan tantangan praktis berupa beban ganda (double burden) karena tanggung jawab domestik tetap melekat. Tantangan utamanya adalah bagaimana kaum perempuan dapat menyeimbangkan tuntutan profesionalisme politik dan isu kesetaraan gender yang lebih luas dengan loyalitas dan kepatuhan terhadap budaya serta tuntutan domestik di dalam rumah tangga.
Walhasil, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dimaksud akan semakin memberi ruang kepada kaum perempuan (muslim) untuk terlibat dalam ranah publik-politik- dan berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik.
Dengan putusan tersebut, kini ruang politik tidak lagi dimonopoli kaum laki-laki, tetapi bisa diisi kaum perempuan. Hal itu sejalan dengan perspektif Islam yang sangat menjunjung tinggi martabat kaum perempuan dalam konteks hak-hak keseteraan antara laki-laki dan perempuan dalam kerangka melaksanakan tanggung jawab bersama ‘’amar ma’ruf nahi munkar.

