Skenario Lain di Balik Gencatan Senjata Israel – Iran

Lihat Foto Petugas tanggap darurat dan pasukan Israel bekerja di depan gedung yang terkena serangan Iran di kota pelabuhan Haifa pada 22 Juni 2025. Setidaknya 16 orang terluka setelah Iran meluncurkan dua gelombang rudal ke negara itu menyusul pengeboman AS terhadap situs nuklirnya.(JALAA MAREY / AFP)

Penulis : Fathurrahman Yahya, Dosen, Peneliti, Program Doktoral Kajian Komunikasi Politik dan Diplomasi Universitas Sahid Jakarta

Kompas.com – 02/07/2025, 14:54 WIB 2

SETELAH 12 hari gelombang serangan langsung yang memuncak antara Israel dan Iran, kawasan Timur Tengah dan dunia seperti benapas lega. Kedua pihak sepakat menurunkan intensitas agresi mereka—sebagai langkah positif yang disebut sebagai de-eskalasi.

Dalam perang, gencatan senjata memberikan jeda agresi militer, baik melalui serangan udara, darat dan laut yang merusak, dan hanya menciptakan ruang jeda sementara untuk stabilisasi situasi demi mengurangi jumlah korban jiwa.

Di balik gencatan senjata Israel-Iran, kedua pihak saling klaim kemenangan dan masing-masing masih bersiaga terhadap ancaman berikutnya. Pertanyaan yang masih tersimpan dalam benak banyak orang, apakah kesepakatan genjatan senjata antara Israel dan Iran benar-benar tulus menuju perdamaian abadi atau hanya bentuk de-eskalasi sekadar jeda taktis dan strategis menuju perang panjang berkelanjutan?

De-eskalasi dan reposisi

Gencatan senjata bukanlah akhir dari konflik, melainkan de-eskalasi atau hanya reposisi. Gencatan senjata (Israel-Iran) bukan merupakan perjanjian tertulis yang dilegalisasi di atas dokumen resmi kedua negara, baik melalui jalur bilateral maupun multilateral.

Dalam kesepakatan tersebut, Israel mungkin telah menghentikan serangan udara langsung, sementara Iran juga menahan diri tidak membalas dengan peluncuran rudal skala besar. Perlu Sabar Meniti Jalan Sulit Diplomasi Artikel Kompas.id Baca juga: Perang Iran-Israel: Mengapa Tiba-tiba Gencatan Senjata? Namun, justru di sinilah letak bahayanya—konflik akan kembali ke bentuk-perang bayangan (shadow war), melalui proksi (proxy war), infiltrasi intelijen dan sabotase siber (cyber warfare) terhadap jaringan elektonik basis militer serta pusat-pusat keuangan. Israel juga mungkin khawatir bahwa jeda ini bisa dimanfaatkan Iran untuk melanjutkan pengembangan kapasitas nuklirnya.

Bagi Israel, gencatan senjata sebagai de-eskalasi bisa menjadi momentum melakukan reposisi mencari opsi-opsi lain untuk menundukkan Iran. Maka, mempertahankan dan memperkuat aliansinya dengan Amerika Serikat suatu keniscayaan. Lebih dari itu, Israel juga ingin memperkuat posisinya dengan memperluas dukungan dari negara-negara sahabatnya di kawasan melalui apa yang diproyeksikan dalam kesepakatan “Abraham Accord”, yang didesain pemerintahan Donald Trump periode 2017-2021.

Proyek kebijakan politik luar negeri Trump di Timur Tengah berhasil menggaet beberapa negara kunci di Teluk, yaitu Uni Emirat Arab dan Bahrain yang menandatangani kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, dan selanjutnya mungkin Arab Saudi dan Oman.

Opsi strategis ini tentu didesain sebagai propaganda untuk mengucilkan Iran di kawasan. Dapat dicermati, negara-negara yang masuk dalam kesepakatan “Abraham Accord” dengan Israel, relatif pasif dan ambigu menyikapi perang terbuka Israel Vs Iran.

Tidak ada suara protes dan pembelaan secara signifikan dalam 12 hari perang terbuka Israel terhadap Iran. Artinya, Israel membaca bahwa sikap “diam” negara-negara tersebut dalam situasi genting bisa dijadikan peluang untuk mengaktifkan dan melanjutkan kesepakatan “Abraham Accord” dengan cakupan negara yang lebih luas dalam rangka menguatkan posisinya.

Pascagencatan senjata, papan reklame baru yang diresmikan di Israel pada Rabu (25/6/2025), menampilkan gambar para pemimpin regional di Timur Tengah, termasuk Presiden Donald Trump, di samping kata-kata “Aliansi Abraham: Saatnya untuk Timur Tengah Baru.” Secara nyata, Iklan yang disponsori oleh Koalisi untuk Keamanan Regional tersebut, mencerminkan adanya harapan besar bagi Israel untuk melakukan reposisi strategisnya mengajak lawan untuk bergabung menjadi kawan dalam kesepakatan “Abraham Accord”.

Hal ini berpotensi meluaskan kerja sama dengan negara-negara seperti Arab Saudi, Lebanon, dan Suriah. Jika ini terjadi, maka posisi Iran semakin terisolasi secara politik. Apalagi beberapa negara sekutunya seperti Rusia dan China juga tidak sepenuhnya berada di belakang Iran.

Hubungan Amerika Serikat dengan Rusia di bawah pemerintahan Vladimir Putin sejauh ini masih terlihat normal. China di bawah pemerintahan Xi Jinping terlihat sangat cermat mengkalkulasi kepentigannya, berusaha menyeimbangkan ritme tekanan perang dagang-tarif yang sedang dilakukan Trump terhadap China.

Dalam perang Israel-Iran ini, Amerika Serikat memang memainkan peran krusial dalam mendorong de-eskalasi. Namun, AS seperti terjebak dalam kebijakan luar negeri yang terpecah antara menjaga stabilitas Timur Tengah dan memfokuskan energi untuk rivalitas dengan China dan Rusia. Baca juga: Pintu Masuk Situs Nuklir dan Klaim Kemenangan Perang Presiden AS tidak ingin perang Israel-Iran membesar yang bisa menguras sumber daya militer dan merugikan kepentingannya: geoekonomi, geopolitik dan geostrategis di kawasan. Lalu apa opsi selanjutnya?

Menumbangkan rezim

Operasi militer “Rising Lion” yang dilakukan Israel terhadap Iran belum berhasil mewujudkan misinya secara tuntas dan belum bisa menundukkan Iran sepenuhnya. Maka, menumbangkan rezim Ayatollah Ali Khemenei akan menjadi opsi strategis Israel selanjutnya sebagaimana cara yang dilakukan pada revolusi “Arab Spring” 2010-2024, yang berhasil menumbangkan rezim-rezim yang dianggap otoriter mengancam eksistensi Israel di kawasan dan melawan kepentingan Barat.

Revolusi “Arab Spring” bukan hanya dipicu gerakan rakyat dari dalam, tetapi juga dipacu dengan gerakan dari luar. Tokoh-tokoh oposisi prodemokrasi-Barat turut terlibat dalam gerakan rakyat saat itu. Sejumlah tokoh oposisi dan aktivis politik prodemokrasi, misalnya, Rachid Ghannouchi di Tunisia, Tawakkul Karman di Yaman, Mohammad Elbaradei di Mesir ikut terlibat dan dilibatkan dalam gerakan rakyat menumbangkan rezim berkuasa. Artinya, cara ini tidak dimungkiri akan menjadi opsi strategis Israel dan aliansinya di kawasan ke depan sebagai operasi yang lebih halus (smoth) dibandingkan operasi militer.

Dilansir situs berita DCNewsNow Washington (25/6/2025), Ketua Emeritus Komite Hubungan Luar Negeri DPR, dari Partai Repubik AS, Michael McCaul bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kurang dari tiga minggu sebelum Israel memulai perang 12 hari melawan Iran. “Dia bisa menjadi yang berikutnya,” kata McCaul tentang pemimpin tertinggi (Ayatollah Ali Khemenei) tersebut menirukan ucapan Netanyahu. Hal itu juga dipertegas dengan ucapan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, “Ayatollah should not continue to exist”.

Hanya saja, opsi ini bisa menjadi dilema bagi Amerika Serikat. Satu sisi Presiden Trump tidak ingin terlibat upaya penggulingan Ayatollah Ali Khamenei. Namun, pada sisi lain harus mengkalkulasi bahwa cara itu paling memungkinkan daripada melalui operasi militer.

Dari pengalaman operasi militer di Irak tahun 2003, setidaknya Amerika Serikat dan sekutunya mengambil pelajaran berharga bahwa pendekatan militer-perang langsung-perang terbuka-melawan rezim Saddam Husein di Irak menguras biaya dan berisiko tinggi.

Perang itu menelan banyak korban dari pasukan AS dan pasukan multinasional yang beraliansi dengan AS saat itu. Dalam situasi ini, salah satu tokoh oposan Iran di pengasingan, Reza Pahlevi, putra mahkota Syah Iran sebelum revolusi tahun 1979 mulai menunjukkan diri ikut bersuara lantang menyerukan perubahan rezim dan siap menggantikan rezim Iran Ayatollah Ali Khemenei. Pertanyaannya, mungkinkan rakyat Iran akan mengkhianati pemimpinnya yang telah berhasil melawan agresi militer Israel?

Melalui operasi intelijen, Israel akan memanfaatkan kelompok-kelompok oposisi untuk ikut bergerak menumbangkan rezim Ayatollah Ali Khemeni yang dianggap tokoh paling kuat dan sulit untuk ditundukkan. Infiltrasi Intelijen akan semakin masif di Iran pada fase gencatan senjata. Meskipun situasi saat ini tampak tenang, potensi konflik bisa kembali memuncak sewaktu-waktu.

Salah satu skenario yang dikhawatirkan adalah jika Israel kembali melancarkan serangan pre-emptive terhadap fasilitas nuklir Iran, atau jika Iran semakin nekat meluncurkan serangan besar terhadap wilayah Israel dan basis-basis militer AS di Timur Tengah, termasuk menutup selat Hormuz. Artinya, gencatan senjata hanya de-eskalasi dan bukan perdamain, melainkan penundaan perang yang direncanakan.

Tanpa pendekatan diplomasi substansial—yang melibatkan negosiasi lembaga-lembaga PBB, lembaga keamanan kawasan, program nuklir Iran, dan pengakuan hak eksistensial serta penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara—konflik ini akan terus membara dan sewaktu-waktu bisa menyala kembali. Maka, masing-masing negara, termasuk Indonesia perlu menyiapkan mitigasi dampak dari perang yang mungkin berkepanjangan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Skenario Lain di Balik Gencatan Senjata Israel – Iran”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/global/read/2025/07/02/145423670/skenario-lain-di-balik-gencatan-senjata-israel-iran.

Editor : Sandro Gatra

Next Post

Rusia Akui Rezim Taliban: Pergeseran Peta Geopolitik Kawasan

Sun Aug 10 , 2025
Penulis : Fathurrahman Yahya, Dosen, Peneliti, […]