Oleh : Faqih Maarif *)
15 Desember 2019 02:23 Diperbarui: 15 Desember 2019 03:46 501 7 10
Ilustrasi: Climbing Old Rag Mountain
Alkisah sejak Raden Wijaya berhasil mendirikan kerajaan Majapahitpada tahun 1293M, ada abdi paling setia yang luar biasa dalam mendampingi Raden Wijaya yaitu Lembu Sora, atau dalam beberapa referensi disebutkan sebagai Andaka Sora, Kadang, Sora, Mpu Sora. Akan tetapi, dalam akhir kisah hidupnya, Lembu Sora bukan gugur sebagai “pahlawan”, Ksatria ini justru mengalami nasib yang menyedihkan dan gugur dengan cap sebagai “Pemberontak” kerajaan Majapahit.
Siapakah Lembu Sora?
Selain memiliki pribadi ksatria, dan memiliki strategi handal, Lembu Sora dikenal pribadi yang tulus tanpa pamrih, serta rela meletakkan segala kehormatannya untuk junjungannya.
Dalam kidung Panji Wijaya Krama Lembu Sora rela perutnya dijadikan tempat duduk Wijaya dan istrinya saat beristirahat dalam pelariannya oleh Prabu Jayakatwang, serta rela terengah-engah menggedong istri Wijaya dalam melintasi sungai dan rawa-rawa agar tidak terseret oleh arus air atau tenggelam. Karena pengorbanannya, Wijaya dan keluarganya sangat mencintai Lembu Sora, akan tetapi nasibnya tidak segemilang tokoh-tokoh lain yang membantu Diah Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.
Kisah lain menyebutkan tentang pembebasan keluarga Wijaya dari serangan Jayakatwang di Pura Singosari, militer Jayakatwang berhasil berhasil mengetahui dan mengejar Diah Wijaya. Lembu soramenggendong Diah Wijaya sambil melakukan perlawanan perang. Lembu Sora juga meloloskan Diah Wijaya dengan bantuan Ki Lurah Kudadu ke Madura Timur untuk dititipkan di Arya Wiraraja. Juga disebutkan dalam pengusiran tantara Mongol di tanah Jawa, Lembu sora berhasil memimpin penyerangan terhadap pasukan tar-tar bersama dengan pasukan Bhayangkara.
Singkat cerita, kematian Kebo Anabrang (panglima Pamalayu) menjadi awal kehancuran Lembu Sora, berdasarkan pengadilan pada saat itu, menyatakan bahwa lembu sora harus di hukum mati. Apa yang terjadi di Majapahit, tidak diketahui oleh Lembu Sora, suasana genting ketika itu serba tidak terkendali, tidak diketahui mana lawan dan mana kawan, mana yang benar dan mana yang salah.
Dia adalah Mahapatih Diah Halayuda bangsawan saudara Diah Wijaya yang meracun Wijaya dan banyak menebar berita bohong serta menghasut berbagai pemimpin di Majapahit. Puncaknya adalah ketika keluar surat yang menyatakan bahwa Lembu Sora di ringankan menjadi hukuman buang di Tulembang (tempat Palembang saat ini).
Lembu Sora pun patuh dengan surat dari raja, bahkan Lembu sora lebih memilih hukuman mati dengan membalas surat kepada raja, akan tetapi justru surat tersebut disembunyikan oleh Mahapatih dan sebaliknya mengatakan kepada para Menteri agung bahwa Lembu Sora akan datang, tapi untuk melawan Majapahit.
Kematian Lembu Sora
Mendengar ini terbakarlah amarah para pemimpin Majapahit, bahkan Nambi memohon ijin kepada Wijaya untuk bersiap melakukan penyerangan, bahkan sebelum mereka datang ke Majapahit. Sementara itu, Lembu Sora hanya datang bersama dengan dua orang yaitu Gajah Biru dan Juru Demu (tanpa pasukan). Belum sempat ada dialog, ketiganya dikeroyok pasukan elit di bawah pimpiman Nambi, jumlah yang tidak seimbang membuat ketiganya Gugur dengan label “Pemberontak” di Halaman Istana Majapahit yang pernah mereka perjuangkan selama ini.
Hikmah di balik peristiwa
Ketika salah satu sahabat menaruh cerita, kenapa saya yang berjuang, tapi dia yang menikmati hasilnya?. Bahkan karya yang sudah diperjuangkan diakui sebagai karyanya, sampai semua peluang yang telah dibuka dan sedang dikerjakan ditutup dengan sedemikian rupa. Jerih payah, kucuran keringat, finansial, dan usaha yang menantang nyawa, dianggap hanya sebuah isapan jempol semata.
Dalam suasana itu, masih juga ada yang tega berpendapat bahwa apa yang dilakukan hendaknya di “gembar-gemborkan” agar semuanya mengetahui. Karena diam saja tidak cukup, semakin diam akan semakin di injak. Hal ini menjadi peperangan batin tersendiri apabila prinsip dasar kita dalam melakukan sesuatu adalah ikhlas, seperti sebuah kutipan yang mengatakan pemberian terbaik yang dilakukan oleh tangan kanan, hendaknya jangan sampai diketahui oleh tangan kirinya.
“Masih seperti itukah budaya kita?” saling sikut sana dan sini, demi mendapatkan posisi strategis tanpa mempertimbangkan baik dan buruk, halal dan haram. Mirisnya lagi, mereka yang melakukan itu, adalah orang yang di cap sebagai orang terpandang dan orang berpendidikan tinggi. Seandainya mereka tahu, bahwasanya apa yang diperjuangkan dengan jalan kebaikan, pasti hasilnya akan berbuah manis dan kembali kepada diri kita masing-masing, pasti akan berpikir ulang melakukan hal tersebut.
We are responsibility for the what we are, and we wish ourselves to be, we have the power to make ourself. If what we are now has been the result of our past actions, it certainly follows that whenever we wish to be in future can be produced by our present actions, so we have to know how to act. (Swami Vivekananda).
yang jika di artikan: Kita bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan sekarang dan apa yang kita inginkan nanti. Jika apa yang kita terima hari ini merupakan hasil dari apa yang dilakukan masa lalu, berarti apa yang akan kita terima nanti bisa kita ciptakan dari tindakan kita hari ini, sehingga kita perlu mengetahui bagaimana melakukan sesuatu.
Bahkan lebih parahnya lagi, terkadang selain kita bertanggungjawab terhadap apa yang telah kita lakukan, kita pun bertanggungjawab atas apa yang tidak kita lakukan. Dengan mencari berbagai celah agar tersandung, mereka tega melakukan berbagai macam cara.
Bagaimana solusinya
Sebenarnya, kita memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh orang lain, dan begitu juga orang lain memiliki keungulan yang tidak kita miliki, hal ini karena pada dasarnya manusia itu unik. Tapi, hidup itu sudah di atur, setiap orang memiliki beban dan kesenangan yang berbeda-beda, dari hal tersebut kita di ingatkan oleh sang pencipta untuk senantiasa belajar dan terus berkembang.
Pada saatnya nanti, apabila kita menganggap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu tidak adil terhadap diri kita, barulah kita bisa melangkah menuju hal yang lebih besar, karena sebenarnya kita telah tahu, bahwa kebahagiaan akan dapat dicapai dengan proses kerja keras untuk meraih tujuan yang luhur.
Terkadang, bagi sebagian besar orang mungkin menganggap bahwa kebahagiaan dapat dicapai dengan tempat yang jauh dari dirinya dengan melakukan berbagai macam cara, akan tetapi bagi orang bijak, kebahagiaan itu terletak pada dirinya, tidak perlu disaksikan dan harus mendapatkan pengakuan dari orang lain, cukup Allah yang menjadi saksi-nya.
Akhirnya?
Dalam berbagai kisah cerita juga telah banyak disampaikan, tidak selalu semua yang di perjuangkan berakhir manis dan bahagia. Seorang Ksatria seperti Lembu Sora pun harus gugur dengan predikat “pemberontak”, tanpa tahu jika dirinya di jebak. Juga kita ingat kisah Presiden pertama RI Ir. Soekarno yang harus menderita sakit dan dijauhkan dari rakyat hingga akhir hidupnya. Kejadian seperti ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita untuk selalu eling dan waspada. Karena ukuran puncak bagi seorang Lembu Sora bukanlah dimana dia berdiri pada saat menyenangkan, akan tetapi dia memilih jalan ksatria pada saat tantangan dan kontroversi muncul meski itu akan menghancurkan karir dan kehidupannya.
Sebagai penutup, saya mengutip pernyataan Jhon Charles Salak sebagai berikut:
Failures are divided into two classes-those who thought and never did, and those who did and never thought.
Kegagalan bisa di kelompokkan ke dalam dua hal: mereka yang berpikir tetapi tidak pernah berbuat, dan mereka yang berbuat tapi tidak pernah berpikir.
Semoga kita senantiasa di lindungi dan diberkahi agar selalu eling dan waspada.
Artikel ini dimuat di kompasiana, 15 Desember 2019 dengan judul : Dalam Hidup, Pengorbanan Tidak Selalu Berujung Manis
Semoga bermanfaat
Copyright @FQM2019
Civil Engineering: Discrete Element, Engineering Mechanics, Finite Element Method, Material Engineering, Structural Engineering, Beijing University of Aeronautics and Astronautics, Beijing. 103号房间, 1号楼, 外国留学生宿舍, 北京航空航天大学 北京市海淀区学院路, 37谢元路, 邮编:100083. Office: Lecturer at Department of Civil Engineering, Faculty of Engineering Yogyakarta State University, Kampus Karangmalang, Depok – Sleman Yogyakarta Special Region
Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you.