PM Ethiopia, Abiy Ahmed Ali / Wikipedia.org
Komite Nobel Norwegia telah memutuskan untuk memberikan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2019 kepada Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed Ali atas upayanya untuk mencapai perdamaian dan kerja sama internasional, khususnya atas inisiatifnya yang menentukan untuk menyelesaikan konflik perbatasan dengan negara tetangga, Eritrea.
Pengumuman tersebut disampaikan Ketua Komite Nobel Perdamaian Norwegia, Berit Reiss-Andersen, Jumát ( 11/10/19) di kantor Norwegian Nobel Institute, Oslo.
Menurut Andernse, hadiah ini dimaksudkan untuk mengakui semua pemangku kepentingan yang bekerja untuk perdamaian dan rekonsiliasi di Ethiopia dan di wilayah Afrika Timur dan Timur Laut.
Lebih lanjut, Andersen menjelaskan bahwa Ketika Abiy Ahmed menjadi Perdana Menteri pada April 2018, ia menegaskan bahwa ingin melanjutkan pembicaraan damai dengan Eritrea.
Dijelaskan bahwa dalam kerja sama dengan Isaias Afwerki, Presiden Eritrea, Abiy Ahmed dengan cepat menyusun prinsip-prinsip perjanjian damai untuk mengakhiri kebuntuan lama-tidak ada perang- antara kedua negara.
Prinsip-prinsip ini diatur dalam deklarasi yang ditandatangani Perdana Menteri Abiy dan Presiden Afwerki di Asmara dan Jeddah pada bulan Juli dan September lalu. Premis penting untuk terobosan ini adalah kesediaan Abiy Ahmed untuk menerima putusan arbitrase komisi batas internasional pada tahun 2002.
Komite Nobel Norwegia berharap perjanjian damai antara Ethiopia dan Eriteria akan membantu membawa perubahan positif bagi seluruh populasi kedua negara.
“ Di Ethiopia, bahkan jika masih banyak pekerjaan yang tersisa, Abiy Ahmed telah memulai reformasi penting yang memberi banyak harapan bagi warga negaranya untuk kehidupan yang lebih baik dan masa depan yang lebih cerah”, kata Andersen.
Dijelaskan, Abiy Ahmed menghabiskan 100 hari pertamanya sebagai Perdana Menteri mengangkat keadaan darurat negara itu, memberikan amnesti kepada ribuan tahanan politik, menghentikan penyensoran media, melegalkan kelompok-kelompok oposisi yang terlarang, memecat pemimpin militer dan sipil yang diduga korupsi, dan secara signifikan meningkatkan pengaruh perempuan dalam kehidupan politik dan komunitas Ethiopia. Dia juga telah berjanji untuk memperkuat demokrasi dengan mengadakan pemilihan umum yang bebas dan adil.
Setelah proses perdamaian dengan Eritrea, Perdana Menteri Abiy telah terlibat dalam proses perdamaian dan rekonsiliasi lainnya di Afrika Timur dan Timur Laut. Pada bulan September 2018 ia dan pemerintahnya berkontribusi secara aktif pada normalisasi hubungan diplomatik antara Eritrea dan Djibouti setelah bertahun-tahun berada dalam permusuhan politik.
Selain itu, Abiy Ahmed telah berupaya menengahi antara Kenya dan Somalia dalam konflik berkepanjangan mereka atas hak atas wilayah laut yang disengketakan.
“Sekarang ada harapan untuk penyelesaian konflik ini. Di Sudan, rezim militer dan oposisi telah kembali ke meja perundingan”, jelas Andersen seperti disampaikan pada konfrensi Pers dihadapan wartawan, 11/10/19.
Sekitar dua dekade, Ethiopia dan Eriteria dilanda perang dan konflik berkepanjangan, sehingga jutaan warganya eksodus ke beberapa negara tetangga dan Eropa.
Menurut pengamat internasional, hingga tiga juta orang Ethiopia mungkin terlantar secara internal. Itu merupakan tambahan dari sekitar satu juta pengungsi dan pencari suaka dari negara-negara tetangga.
Sebagai Perdana Menteri, Abiy Ahmed telah berupaya mempromosikan rekonsiliasi, solidaritas dan keadilan sosial. “Namun, banyak tantangan yang masih belum terselesaikan. Perselisihan etnis terus meningkat, dan kami telah melihat contoh-contoh meresahkan dalam beberapa minggu dan bulan terakhir. Tidak diragukan beberapa orang akan berpikir bahwa hadiah tahun ini diberikan terlalu dini. Komite Nobel Norwegia percaya bahwa sekarang usaha Abiy Ahmed layak mendapatkan pengakuan dan membutuhkan dorongan.
Komite Nobel Norwegia berharap bahwa Hadiah Nobel Perdamaian akan memperkuat Perdana Menteri Abiy dalam pekerjaan pentingnya untuk perdamaian dan rekonsiliasi.
Dengan ketentuan Alfred Nobel, Komite Nobel Norwegia melihat Abiy Ahmed sebagai orang yang telah bekerja- melakukan (sesuatu) pada tahun sebelumnya adalah paling layak untuk menerima Hadiah Nobel Perdamaian untuk 2019, demikian pengumuman Ketua Komite Nobel Perdamaian, Berit Reiss-Andersen. (Fath)
Sumber : https://www.nobelprize.org/prizes/peace/2019/press-release/